Putra mahkota tampak berusaha kuat menahan air matanya. Belum genap sepuluh hari ayahnya, raja negeri itu meninggalkannya dan rakyatnya, kini ia harus menguatkan hati ditinggal pula oleh ibunya.
“Benar-benar cinta sejati” ia bisa mendengar suara yang digumamkan orang-orang di dekatnya.
Ia memandang ke langit. Di dunia yang luas ini, ia hanya seorang diri dengan beban yang berat di pundaknya. Ia melihat ke arah Pangeran Darren yang didampingi Putri Davonna. Sekarang ia sama dengan adiknya bungsunya itu. Tak ada ayah dan ibu.
Tapi ia punya wanita itu di sisinya. Sebentar lagi, aku juga akan didesak untuk segera mengambil seorang gadis untuk menduduki kursi ratu.
Seorang laki-laki tiba-tiba menyembul dari kerumunan dan mendatangi Pangeran Darren. Raja Rainord tak bisa mendegar perkataan mereka dari tempatnya berdiri. Ia hanya bisa melihat raut wajah Darren dan Davonna yang terkejut. Mereka kemudian meninggalkan kerumunan.
Rainord menoleh sedikit. Seorang kasim berdiri sedikit membungkuk di sebelahnya.
“Ikuti Darren dan istrinya”
“Baik, yang mulia”
Hujan baru saja berhenti. Raja Rainord duduk di ruang kerjanya. Tangannya memutar-mutar pena, sesekali mengetukkannya ke atas meja kayu.
“Yang mulia raja, ini hamba”
“Ya, masuklah”
Seorang kasim masuk dengan wajah menunduk. Ia membungkuk dengan sopan saat tiba di depan tuannya.
“Hamba baru saja dari Kantor Biro Kepolisian. Pangeran Darren dibawa ke sana dan baru saja masuk ruang interogasi. Pangeran Darren adalah orang terakhir yang ditemui ibu suri”
“Darren?”
Raja Rainord segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangannya. Ia berjalan cepat menuju Kantor Biro Kepolisian. Jalannya melambat saat dilihatnya Putri Davonna duduk di depan Kantor Biro Kepolisian.
Putri Davonna cepat-cepat berdiri dan merapikan gaunnya saat melihat raja datang. Ia membungkuk sopan.