Sejak tiba di Tanah Seira, Pangeran Darren terus menyibukkan diri dengan urusan di wilayah itu. Putri Davonna mengerti bahwa suaminya itu sedang mengalihkan kesedihannya dengan kesibukkan baru. Pangeran Darren selalu berada di luar rumah. Ia tak pernah duduk lebih dari lima menit. Ia sudah pergi lagi.
Sore itu, di balai-balai depan rumah. Putri Davonna menggigit kukunya. Ia tampak bingung dan khawatir.
Darren terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak menyadari keberadaanku. Bagaimana ini?
Menjelang malam, Davonna mendatangi ruang kerja Darren. Ia tampak tenggelam di antara tumpukan buku yang memenuhi mejanya.
“Kau sedang apa?”
“Kau tidak lihat?”
“Aku...ingin bicara”
“Bicara saja”
Putri Davonna mengerutkan kening. Ia kesal karena suaminya terdengar datar dan ketus. Ia berjalan ke arah suaminya dan mengambil buku dari depan darren lalu menutupnya. Darren menghela napas.
“Kau mau bicara apa?”
Davonna membuka laci meja. Laci itu sedikit macet tapi batu besar itu sudah terlihat. Darren memandangnya bingung.
“Kenapa kau menyimpannya?”
“Aku tidak ingin melupakan sejarah ituMeskipun itu melukaiku dan memberi bekas luka, aku akan tetap menyimpannya. Aku tidak tau kenapa aku menyimpannya"
Darren bangkit berdiri. Kini ia berdiri tepat di depan Davonna. Ia membungkuk dan meletakkan kedua tangannya ke sisi meja, membuat pagar tangan mengurung Davonna di depannya. Davonna yang merasa terintimidasi menarik tubuhnya ke belakang.
“Kenapa kau menyimpan kenangan yang menyakitkan”
“Karena yang menyakitkan itu pada akhirnya membahagiakan”
“Kau suah tau rupanya, aku yang melempar batu itu”
“Ya, karena itu aku sangat bersyukur aku masih menyimpannya dan tak ada alasan membuangnya”