MR. LAWANA

Rian Widagdo
Chapter #1

1

“KEPADA Bapak Edward Lawana, kami persilahkan,” kata pembawa acara mempersilahkan. Lantas sosok tegap yang nyaris tidak terjamah itu berdiri dari kursinya, mengancingkan tuksedonya yang seharga Avanza, dan dengan langkah mantap seorang prajurit yang tidak pernah kalah dalam perang, naik ke atas panggung. Seketika seisi ruangan tersihir dengan pesona pria awal empat puluhan itu. Semua orang tahu siapa Edward Lawana, pria terkaya nomor dua se Indonesia Raya, tapi sangat jarang sekali yang pernah melihat sosoknya secara langsung. Edward Lawana memang jarang terekspos media. Tentu saja hal itu memang disengaja, demi ketenangan hidupnya. Edward Lawana tidak suka publisitas. Sejujurnya, dengan segala hal yang sudah ia miliki dalam hidupnya, dia tidak membutuhkan itu semua.

“Terima kasih atas kesempatan ini,” Lawana memulai sambutannya dengan suara dalam yang susah untuk diabaikan begitu saja. Semua hadirin seketika menyimak, enggan melewatkan kesempatan langka semacam ini. “Dunia kesehatan sudah sangat maju belakangan ini. Berbagai inovasi sudah ditemukan. Mulai dari pengeditan gen, teknologi kardiologi, sampai kemajuan dalam bidang telemedisin. Meski demikian, masih banyak pula penyakit yang belum ditemukan obatnya. Sebut saja diabetes, HIV, dan beberapa lagi.”

Tentu saja Lawana tidak memiliki latar belakang dalam bidang kedokteran atau semacamnya. Dia meraih gelar M.B.A. (Master of Business Administration) pada umur 25 dari Wharton, Amerika Serikat, dan sejak saat itu langsung melanjutkan usaha keluarganya dalam bidang otomotif (dan sekarang sedang merambah ke arah kecerdasan buatan dan robotika) yang sudah ia tekuni sejak masih duduk di bangku sarjana. Yup, dia merupakan lulusan sarjana teknik dari universitas ternama di Singapura, Nanyang Technological University, dengan gelar ganda pada bidang Teknik Mesin dan Bisnis Internasional. Karena latar belakangnya yang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia kesehatan itulah, maka banyak yang kemudian memuji dan kagum dengan aksi kepeduliannya yang berfokus pada bidang-bidang kesehatan, yang banyak orang kira bukanlah minatnya.

Sebelum peresmian Gedung Laboratorium Penelitian Terpadu di Fakultas Kedokteran Universitas Padma Jaya pagi ini, Lawana dengan lini perusahaan otomotifnya yang sudah mengglobal juga telah membangun gedung-gedung penelitian kesehatan terpadu, gedung kuliah, klinik, dan berbagai fasilitas pendukung lain di kampus-kampus tidak hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri. Belum lagi beasiswa yang digelontorkan perusahaannya untuk calon mahasiswa yang kurang mampu namun berkeinginan kuat menempuh pendidikan tinggi pada bidang-bidang kesehatan seperti jurusan kedokteran, keperawatan, dan farmasi. Komitmennya untuk membangun kesehatan dan memerangi berbagai penyakit di seluruh dunia melalui pendidikan, bahkan pernah membawanya pada penghargaan dari WHO (World Health Organization, Lembaga Kesehatan Dunia) dan UNESCO (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan).

Lawana mengakhiri sambutan singkatnya dengan sebuah pepatah Jawa,”Ana Dina, Ana Upa. Ora Obah, Ora Mamah. Yang artinya kurang lebih setiap perjuangan, pasti akan selalu memberikan hasil yang nyata.”

Dan tepuk tangan langsung bergemuruh di aula berkapasitas 500 orang itu.

Sosok Lawana yang berdiri begitu sempurna di depan sana membuat Nala, mahasiswi berprestasi yang ditunjuk sebagai pembawa gunting pada acara potong pita pagi itu, untuk sesaat tidak fokus pada pembawa acara yang sudah memintanya maju untuk memberikan gunting kepada masing-masing Pak Lawana dan Ibu Dekan. Tersadar, Nala segera membawa nampan hijau muda berisi gunting ke arah pusat panggung. Di sana sudah terbentang pita hijau dan putih yang akan dipotong sebagai simbol peresmian gedung baru hibah dari kedermawanan seorang triliuner tersohor, Edward Lawana.

Dan pada momen itu, dalam rentang waktu yang hanya satu detik saja, pandangan Nala dan Lawana bertemu. Lawana selalu tahu apa yang dia mau, dan saat itu, pada detik itu juga, dia pada akhirnya menemukan kembali tatapan yang selama ini ia dambakan. Singa dalam dirinya mengaum dengan garang. Hasrat sejatinya kembali membuncah, dan dia merasa untuk sesaat tidak akan mampu melawannya.

“Pak Lawana,” Ibu Dekan menghentikan pertarungan Lawana dengan sang singa yang ada dalam dirinya. Kali ini Lawana menang. Lagi untuk kesekian kali. Tidak mudah baginya untuk mengendalikan sang singa, tapi pada situasi tertentu ia harus melakukannya, walau sesungguhnya dia menginginkan sebaliknya. Tapi dia yakin kemenangan itu tidak akan lama. Anjing buas yang mengembara di dalam dirinya sudah lama merindukan majikannya. Anjing nakal, baru seminggu tidak bertemu majikannya, sudah menyalak-nyalak liar!

 

+++

 

Jujur saja, Kanala Anindyaswari bukanlah gadis baik-baik. Kalau boleh blak-blakan, malah dia tipikal gadis yang agak materialistik. Dia membiayai kuliahnya di Fakultas Kedokteran swasta yang sangat mahal itu dari melacur. Namun hanya segelintir yang tahu, karena caranya melacurkan diri sama sekali tidak seperti yang kebanyakan pelacur lakukan, walaupun pada intinya sama. Dan tidak satupun yang tahu pekerjaan sampingannya itu berasal dari lingkungan terdekatnya. Meski begitu, dia perempuan cerdas dan berkemauan kuat. Sedari sekolah dasar hingga SMA, tidak pernah dia tidak juara satu. Paralel pula. Dia juga merupakan ketua Klub Olimpiade Sains semasa di SMA dulu. Dan mewakili provinsi pula. Sayang bidangnya pada Matematika tidak dapat membawanya masuk melalui jalur prestasi di Fakultas Kedokteran kampus negeri. Mereka hanya mau menerima yang juara dari Kimia atau Biologi. Dan jika melalui jalur ujian mandiri, ekonominya yang tidak memungkinan. Ibunya sudah lama meninggal sejak ia duduk di kelas lima. Kalau Nala tidak salah ingat Ibunya meninggal karena komplikasi diabetik yang sudah lama di deritanya. Ayahnya? Jangan ditanya. Pekerjaanya hanya buruh tani. Ditambah dengan dua adiknya yang masih sekolah SD dan SMP, jelas mustahil bagi Nala untuk meraih mimpinya untuk menjadi dokter. Kecuali ada keajaiban.

Dan keajaiban itu nyata!

Suatu sore sepulang sekolah saat Nala menunggu bus yang biasa mengantarnya pulang pergi sekolah dengan tarif lebih murah karena dia berseragam sekolah, bus kota nomor dua, sebuah sedan putih berhenti di depannya. Seorang perempuan paruh baya keluar dari mobil tersebut dan datang mendekatinya. Ia mengenali perempuan itu dari anak yang duduk di jok sebelahnya. Rupanya perempuan paruh baya itu ibunya Adelia. Sejujurnya Nala tidak terlalu mengenal Adelia, mereka tidak pernah sekelas. Hanya, siapa sih yang tidak tahu gadis secantik dan sepopuler Adelia? Dan sekarang Nala tahu dari mana Adelia mendapatkan kecantikannya.

“Sedang menunggu bus?” sapa ibu Adelia dengan keramahan yang agak asing bagi Nala. Nala hanya mengangguk. “Perkenalkan, aku Devi, mamanya Adelia, kamu kenal?” Devi memperkenalkan diri sambil menengok ke arah Adelia yang masih duduk di dalam mobil. Nala ikutan menengok ke arah Adelia yang hanya tersenyum sekilas. Situasi apa ini? Nala mulai menganalisis. Otaknya terlalu cerdas untuk curiga dengan situasi yang terlalu mendadak ini. Dia sedang berdiri di halte dekat sekolah, Adelia dan Mamanya yang SAMA SEKALI tidak ia kenal, apalagi akrab, tiba-tiba menghentikan mobil dan menghampirinya. Wajar, kan, jika dia jadi bertanya-tanya?

“Saya Nala, Buk,” Nala memperkenalkan diri dengan sopan. Bagaimanapun dalam hati dia memuji kecantikan paras Devi. Orang kaya memang penampilannya beda ya, pikirnya.

“Nala…jantung hati, suka menimbang-nimbang…hmm… nama yang cantik,” puji Devi sekenanya. “Jam segini sepertinya sudah tidak ada bus lewat,” kata Devi lagi sambil menengok kea rah arloji Rolexnya. Nala juga sontak melihat ke arah ponsel murahnya, melihat jam di layarnya yang sudah agak retak, dan waktu memang menunjukkan pukul lima lewat. Sepertinya memang sudah tidak akan ada bus yang lewat. Terpkasa keluar ongkos lebih untuk ngojek, Nala mengeluh dalam hati.

“Rumahmu daerah mana?” Tanya Devi lagi, yang dijawab Nala dengan menyebut sebuah daerah di selatan Yogyakarta. Jelas bukan kawasan elit, pikir Devi yang entah kenapa hal itu membuatnya senang. Ia merasa jika secara ekonomi susah, akan lebih mudah baginya untuk membujuk Nala ke Ibu Kota. Karena memang itu tujuannya sejak semula. Semua rangkaian peristiwa yang Nala pikir kebetulan dan mendadak di sore itu sesungguhnya sudah direncanakan oleh Devi dengan bantuan putri semata wayangnya, Adelia.

“Wah, kebetulan kami juga mau ke arah sana. Bareng saja yuk,” Devi menawarkan dengan keramahan yang terlalu dibuat-buat, tapi terlihat cukup natural seperti ia sudah lihai melakukannya.

“Tidak usah Bu,” Nala, seperti selayaknya anak gadis yang tumbuh dalam didikan keluarga tradisional, menolak dengan santun, tidak mau merepotkan.

“Udah, gak papa. Lagian kita searah,” Devi sedikit memaksa dengan menggandeng tangan Nala. Tidak bisa menolak, Nala mengikuti perempuan itu menuju mobilnya. Nala duduk di belakang, dan tidak jadi kehilangan ongkos untuk naik ojek. Lagipula, mobil itu nyaman sekali. Hampir tidak pernah dalam hidupnya selama ini akan punya kesempatan untuk naik mobil yang senyaman itu, apalagi sedan mahal seperti miliknya Bu Devi. Paling banter dia naik mobil sekolah saat mengantarnya ikut lomba. Itu pun bisa dibilang setahun hanya dua tiga kali.

Tapi itu baru keajaiban kecil pertama sebagai pembuka yang akan membawanya pada keajaiban lain yang lebih besar lagi dalam hidupnya. Tapi, apakah semua keajaiban itu baik? Entahlah.

Honda Accord putih mulai melaju mulus di jalanan yang sore itu dipenuhi oleh pengendara yang baru pulang dari kerja. Keruwetan di jalanan luar membuat Nala mau tidak mau bersyukur sore itu tidak harus naik ojek dan ikut berkerumun di luar sana. Devi memecah kesunyian dengan membuka pembicaraan,”Kok kalian nggak ngobrol? Kalian bukan temen sekelas ya?”

“Bukan Ma,” sahut Devi sekenanya. Matanya sibuk menjelajah layar ponselnya.

Lihat selengkapnya