Keramaian tak selamanya membuat manusia berbahagia. Lihatlah orang– orang yang lalu lalang di pusat – pusat perbelanjaan modern yang bertingkat – tingkat itu, apakah mereka sedang bahagia? Coba lihat mereka yang turun dan naik kereta listrik yang menjadi moda transportasi umum di pusat kota, apa mereka tak sedang bersedih. Atau mereka yang di café atau restaurant sana, bersantap makanan enak sambil bersenda gurau, apakah mereka merasa terhibur. Entahlah, Fahima menarik nafas panjang. Sebagai perantau kebahagiaan itu hanya bisa Fahima rasakan saat sekedar mendapat telpon dari orang tuanya. Pusat – pusat keramaian itu pun akan terasa sepi baginya kerinduan akan kampung halaman menyeruak hadir. Terkadang sekedar rindu sambel terasi dan lalapan daun singkong pun terasa sungguh melankolis.
Fahima meraih sendok dan garpu di samping kiri piring putih yang tersajikan dihadapannya. Dia menatap sejenak makan malamnya yang kelihatan pedas karena tampak merah dengan sambel menutupi permukaan nasi lemak yang dia pesan. Kemudian dia mulai menyantapnya.
“Is it delicious?” (Apakah itu enak?)
Fahima mengangguk seraya menyerling melihat mangkok putih yang berada tepat berseberangan dengan piringnya. Mangkuk itu tampak terisi dengan mie yang bercampur dengan ayam dan juga sayur.
“Sebenarnya tidak bagus makan nasi di jam segini.”
Fahima tetap mengunyah nasinya tak menjawab sedikit pun. Dirinya tahu jelas mana yang harus dia makan. Tubuhnya yang tidak terlalu kurus itu malah sudah kelewatan dari standar ideal tinggi dan berat badan belum ada mengosumsi nasi sejak dua hari kemarin. Dia juga tak sedang diet. Bahkan tak pernah sedikit pun ada niat untuk diet atau pun menjaga pola makan. Perempuan itu hanya akan makan apa yang dia inginkan. Tidak seperti orang Indonesia kebanyakan dia tidak terlalu addict terhadap nasi. Masa kecilnya yang berada di salah satu pulau terbesar di Indonesia membuatnya terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis makanan olahan dari palawija.
Masa kecil Fahima di habiskan di sebuah kecamatan kecil dulunya, yang kini kecamatan itu sudah mejadi sebuah kabupaten baru melalui proses pemekaran wilayah. Ayahnya bekerja sebagai PNS di kecamatan tersebut pada Departemen Pertanian yang sekarang ketika otonomi daerah semuanya berubah nomenklaturnya menjadi Dinas Pertanian dan Perternakan. Setidaknya itu yang Fahima ketahui. Karena setiap pergantian pejabat daerah maupun pusat terkadang merubah segalanya termasuk juga nama OPD (Organisasi Perangkat Daerah) tersebut. Dulu Pertanian Indonesia pada masa Fahima kecil mengalami masa keemasan dengan program PELITA pada pemerintahan Presiden Soeharto. Dia juga ingat dia sering ikut ayahnya ke sawah para warga di setiap kampung. Bantuan pemerintah untuk sector pertanian saat itu sangat luar biasa, hingga Indonesia mengalami swasembada beras. Selain beras sebagai komoditi andalan saat itu tanaman palawija juga sangat nge-trend saat itu. Karena itu Ibu Fahima sering menyediakan berbagai macam varian menu dari palawija tak hanya nasi. Berbagai macam palawija itu ditanam oleh ayahnya di halaman belakang rumahnya. Hal itu juga mempengaruhi Fahima bercita – cita menteri pertanian. Tapi sepertinya hidup tak semudah impian masa kecil. Semua berubah saat dewasa.
Malam itu Fahima sedang ingin menikmati nasi lemak di salah satu stand makanan di lantai 2 Twin Towers. Dia pergi makan setelah di jemput seorang pria berkembangsaan Jerman yang juga tinggal di Kuala Lumpur sama sepertinya. Berbeda dengan Fahima, pria yang memiliki nama lengkap Jean Paul Fischer. Fahima biasa memanggilnya Paul. Fahima telah mengenalnya sejak 7 tahun lalu. Keduanya bertemu di Kuching, Ibu kota Serawak Malaysia Timur. Saat itu keduanya masih menimba ilmu di negara masing – masing. Kampung halaman Fahima yang berada tepat di teras terdepat Indonesia, Entikong memudahkan dirinya dan penduduk disitu untuk bolak balik Malaysia setiap harinya. Mungkin dibandingkan sama Syahrini, penduduk entikong-lah yang penuh cap passport-nya.
Kini sudah 3 tahun Paul tinggal di Kuala Lumpur dan berkerja disana sebagai tenaga ahli di sebuah perusahan teknologi terkemuka. Fahima sendiri baru akan menginjak tahun keduanya, dikarenakan dia menimba ilmu kembali di Malaya University. Kedua yang sama – sama merantau di Malaysia menjadi kian akrab dan selalu menghabiskan waktunya bersama. Perantau memang terkadang mudah untuk dekat pada perantau lainnya. Sanak saudara yang tak ada di negeri rantau memberikan ikatan saling membantu dan saling membutuhkan. Kebersamaan mereka yang manis itu menghadirkan cerita lain dari bagian kehidupan keduanya sebagai pasangan perantau. Hujan maupun panas mereka lewati dengan senyuman yang saling menguatkan.
Fahima tidak selalu pergi makan keluar. Hanya waktu – waktu tertentu saja. Dia lebih memilih untuk masak di apartment-nya. Selain untuk berhemat, masak sendiri juga lebih sehat. Tapi malam itu Paul datang ke apartment-nya. Hujan yang turun sejak pagi membuatnya tak keluar rumah seharian. Untuk makan siang saja dia hanya memasak mie instant yang masih tersisa dalam lemarinya. Malamnya dia sudah tak punya stok makanan lagi. Hujan di bulan desember di Kuala Lumpur memang sudah lumrah. Paul adalah seorang yang cukup selective memilih makanan yang dia konsumsi, oleh karena itu Fahima mengajak Paul untuk makan di luar sekalian dia berencana membeli keperluan mengisi kembali kulkasnya.
“Do you have any plans tomorrow?” (Apakah kamu punya rencana besok?)
Fahima hanya mengelengkan kepalanya. “Tidak ada.”
“Tidak ke kampus?”