Mr. Monoton

Syarif Hidayatullah
Chapter #9

Panggil Dia, Syeila

Seminggu setelah bertemu dengan sesosok mahluk berpandangan buas di tangga menuju ruang dekan, gue langsung UP. Enggak boleh ada senggol-senggolan lagi. Begitulah prinsip bermain di negara kita; Kalo main, jangan suka sirikan. Kalo sirik, udahan.

Berita tentang gue yang dipukuli nenek-nenek pun berlalu gitu aja. Dan sekarang, imbasnya adalah kepopuleran gue. Hilangnya semua hinaan itu, juga menghilangkan gue dalam tawaan orang-orang. Mereka berbodong-bodong minta maaf, baik di media sosial atau media massa. Walau sedang On Air, mereka rela buat nongol barang 5 sampai 10 detik buat bilang ‘Maafin gue, Andre’. Bisa dibilang kehidupan gue kembali normal dan enggak penting.

Seperti yang dikatakan pepatah: ‘Hidup bosen, mati ogah.’

Setiap selesai belajar di kampus, gue pulang dan menghabiskan waktu dengan rebahan di sembarang tempat. Kadang di WC, di jamban, di depan rumah tetangga, dan di tengah jalan. Enggak pernah ada yang namanya tugas penting. Sekalinya ada tugas, hari itu juga gue tuntasin. Individu atau kelompok, hasilnya bagus atau jelek, gue tetap yakin, ketampanan terpendam di dalam wajah bak bol tapir yang gue punya enggak akan ada duanya.

Meski gue terpaksa menjalani kemandirian layaknya pria dewasa, ini lebih baik daripada bergantung dengan orangtua yang sering melampiaskan kegabutannya seperti ini.

“Andre,” ucap Ayah bernada teguran.

“Iya, Yah?”

“Andre,” timpal Ibu, bikin gue menoleh bergantian.

Gue menyahut sesopan mungkin layaknya anak paling berbakti.

“Iya, Ayah sama Ibu ada perlu apa?”

Sepasang suami istri memasang raut paling polos dan saling menyeruput cangkir masing-masing sambil bekata, “Enggak. Cuma manggil doang.”

***

 

Sewaktu menjelang ujian tengah semester ganjil, mahasiswa berkerumun di depan gedung rektorat.

“Kami ingin menuntut hak kami sebagai pelajar yang membayar! Kami merasa tidak adil! Merasa dicampakkan dengan kebijakan baru ini! Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan di kampus ini!” seru cowok bersuara serak yang disahuti sorakan mahasiswa lain.

Gue cukup melihat dari kejauhan sambil duduk bersandar di kursi depan kelas. Sesekali arloji berdetak lebih menarik dari keramaian itu. Karena gue belum pernah mengalami hal seperti ini di SMA, gue anggap ini sebagai tanda bahwa perkuliahan diliburkan.

“Eh,” sapa seseorang dari belakang. Gue berbalik sembari menyahutinya. Belum sempat mata ini melihat, hidung memberi sinyal buat menjauh sebelum menyesal.

“Lah, elo?”

“Lah, gue?” Najis tralala gue disama-samain sama dia. Tapi kenapa dia bisa ada di kampus dengan pakaian yang enggak pernah berubah dari gue kenal dulu sampai sekarang.

“Dimas, kan?”

“Andre, kan?”

“Enggak usah ngulang-ngulang pertanyaan gue, Dim. Capek bikin dialognya.”

“Oke. Gimana kalo kita cari spot buat ngobrol berdua?” tanyanya sokap abis.

Jujur, gue penasaran dengan keberadaan dia di sini, tapi kalo gue kelihatan akrab sama cowok dekil, kucel, dan super beracun itu di kampus, bisa-bisa kiprah gue makin anjlok. Gue merapikan tas, lalu beranjak pergi meninggalkannya sambil menundukkan kepala.

“Weh, jangan kabur, Dre. Gue sekarang pake kolor, kok.” Suara itu dikalahkan hentakkan kaki yang bergantian secepat mungkin mencari tempat yang aman. Akhirnya gue bisa tenang dengan bersembunyi di gorong-gorong.

“Huuff. Selamet-selamet.”

Enggak lama setelah itu, telinga gue mendengar tangisan cewek dari arah utara. Frekuensi bertempo dua ketukan yang diiringi suara bass dari sesegukan, terdengar dari balik semak-semak, di luar ruang aula kampus.

Gue lompat keluar, menoleh ke segala arah untuk memastikan tidak ada orang yang melihat tindak goblok gue itu. Kemudian gue bergerak menuju TKP.

“Hallo. Siapa itu?” Sepenglihatan gue, enggak ada satu pun mahasiswa atau dosen yang lalu-lalang di sekitar tempat ini. Bulu kuduk gue jadi jegeng. Ah, tapi enggak mungkin juga tengah hari bolong gini ada kunti yang mewek gara-gara enggak kebagian jatah ngemutin sikil kebo.

“Hallo. Dengan siapa, di mana? Boleh minta password-nya?” tanya gue bak iklan produk yang seratus kali gue telpon enggak pernah diangkat.

Lihat selengkapnya