Gue bengong di depan laptop, laptop bengong ngeliatin gue. Di antara kami enggak ada pembicaraan serius mengenai karir. Dua buku tulis habis tertebas mata pena, tapi enggak ada satu ide cerita pun yang nyantol di kepala gue.
Stuck.
Rasanya pengen gue obrak-abrik seisi rumah ini. Tapi gue sadar, rumah ini adalah pemberian orang paling baik yang tega mentransfer sejumlah uang ke rekening mantan gue.
Nama gue, Andre. Cowok tulen berusia 24 tahun yang hampir menyandang gelar Sarjana Lesang. Tolong diwajarin aja. Sejak SMA, gue lebih sering menghabiskan waktu buat rebahan dan baca-baca buku daripada kumpul-kumpul ngomongin kejelekan orang, bahkan sesama temen sendiri.
Gue tuh kayak gitu orangnya.
Biarpun banyak orang yang ngatain gue bocah tenggelengan, tapi gue punya sesuatu yang enggak dimiliki mereka, sob. Gue punya keluarga yang selalu memberikan motivasi buat cepet kawin.
“Andre. Kamu ini sudah besar, sudah jadi orang besar, dan sudah punya yang besar-besar. Apa kamu enggak ada rasa kasihan sama Bapak dan Ibu yang sudah mengidam kehadiran cucu? Gapapa deh rambutnya cepak, hidungnya mancung, kulitnya bersih, asal mukanya jangan kayak kamu, Dre.”
Gue juga punya tiga orang temen yang setia dan selalu mengenang jasa gue sebagai menjadi mak comblang mereka di masa SMA.
“Sayang, ini nomor siapa? Kok, pesan chatnya udah kadaluarsa?”
“Oh, nomor itu? Enggak penting itu mah. Delete aja, Sayang.”
“Tapi isinya kayak curhat gitu, sih? Atau jangan-jangan ini nomor selingkuhan kamu ya?! Hayo gaku aja, sebelum aku iket leher kamu di kaleng kerupuk!!”
Gue juga dianugerahi pasangan yang baik, cantik, perhatian, pengertian, tulus dan setia, yang berjanji untuk bersama selamanya, walau kenyataannya enggak selama itu. Kami jalani hubungan selama dua menit, dan dia berpaling ke lain hati dengan alasan neneknya mau melahirkan.
Cewek stres namanya gek.
Tapi, ada satu cewek yang sampe sekarang masih membekas di lubuk hati yang terdalam. Entah gimana kabar dia sekarang. Mudah-mudahan gue bisa ketemu lagi sama dia, walau cuma satu menit.
“Permisi! Paket!”
Nah loh. Apaan tuh? Perasaan gue enggak pernah pesen apa-apa di online. Kenapa ada suara kurir di depan rumah? Ah, mungkin aja hadiah dari fans gue yang waktu itu minta tanda tangan, tapi gue kasih jiplakan uang koin. Semoga aja dia ngasih sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.
Inget! MALU ITU LAPER.
Gue ganti mode laptop ke sleep mode, berjalan menuju dapur buat ambil piring dan gelas, setelah itu gue buka satu-satunya pintu masuk di rumah ini. Cowok berseragam kurir, lengkap dengan topi dan serbet ingus di saku kemejanya, memberi senyum, sapa, dan mengulurkan tangan. Kalo dilihat-lihat, nih orang pake seragam yang oversize deh. Tangan sama kakinya tenggelem, bajunya gombrang kek odong-odong. Tangan kirinya bergerak naik-turun, membenarkan celananya yang kedodoran unlimited.