Mr. Monoton

Syarif Hidayatullah
Chapter #4

Bukan Soal Pengirim, Tapi ...

Jujur, gue masih penasaran banget sama kurir ondel-ondel itu. Ngapain dia dateng cuma buat ngajak kenalan sama ngingetin kalo gue bagian dari kaum modus. Sok tahu banget dia. Padahal gue udah masuk kloternya kaum brengsek dari SMP. Brengseknya itu karena gue digoblok-goblokin mulu sama cinta.

Gue jadi cowok baik, tiap hari disalahin.

Gue jadi cowok salah, tahu-tahu pada minta pisah sama tempe.

Dan sekarang ada paket nyasar berisi kaus lengan pendek yang baru dugaan gue aja sih, tapi isinya lembek, bisa dilipet-lipet (bahkan diinjek-injek) dan ada bunyi plastik. Apalagi kalo bukan kaus? Baju gitu maksud lau? Sami mawon, Akang.

Gue lempar paket itu ke tumpukkan pakaian kotor, terus gue balik ke kamar buat menambang ide berilian dan kembali mencatat. 

Outline jadi rancangan menulis yang udah gue kembangin sejak gabung di kelas nulis online yang diadakan novelis-novelis handal via grup sosial media. Di sana banyak banget penulis yang karyanya memiliki gelar bestseller. Gue adalah satu-satunya member yang suka minder kalo diajak ngobrol di grup. Gimana enggak mau minder, gue di gang-bang puluhan cewek yang enggak pernah tahu, kalo gue ini cowok tulen.

Dari awal belajar, mereka panggil gue “Kak Andre”, dan ada juga yang tega panggil “Mba Andre”. Begitu gue kasih penjelasan, mereka bilang cuma gimik doang. Tae kali ah. Matanya pada kotok. Udah tahu foto profil gue lagi selonjoran baca buku novel segede gaban. Iya sih, muka gue ketutupan bukunya, tapi kenapa mereka selalu berdalih kalo 'Andre' itu nama cowok gue?

Kan gue emang Andre dan gue cowok tulen dari orok, MAROH!

Namun seiring berjalannya waktu, gue bisa bangkit menjadi penulis yang konsisten dalam berkarya dan konsisten juga ditolak penerbit. Siake memang, tapi itulah pahitnya jamu kesuksesan yang harus ditelan. Lihat gue yang sekarang. Gue bisa eksis dengan tiga judul buku bergenre romantis yang jadi pusat perhatian ciwik-ciwik baperan.

Ternyata bener apa yang dikatain sama pepatah:

‘Usaha tidak akan menghianati hasil, karena usaha tidak diciptakan untuk berhianat, melainkan sebagai pelengkap dari impian dan doa. Begitu pun sebaliknya.’

Asik. Gue sok bijak banget, padahal dari kemarin belum makan apa-apa. Gue jadi mahasiswa pertama yang memiliki karir gemilang dan anjloknya di tengah tanjatan. Bisa jadi, gue udah diambang surennder. Mungkin ini alasan fans-fans gue lari dan meng-unfoll semua akun gue, karena gue mulai enggak konsisten posting apapun lagi selama masa pembuatan naskah baru. 

Mereka menjauhi penulis kufur yang tega mogok berkarya di tengah jutaan dukungan, hanya demi membuat satu orang sudi berdiri di hadapannya dan memberikan semangat untuk berkarya lagi. Dan sekarang apa hasil dari kegilaan gue itu? Paket nyasar itu atau si kurir nyebelin itu? Itu dan eta. Percuma juga diomongin. Dua-duanya enggak ada yang bisa dimakan.

BELENTUNG!

Ada nomor enggak dikenal dan enggak ada foto profilnya, mengirim chat singkat:

‘Hai, pria sok sibuk! Kenapa lo belum buka paket yang dikirim anak buah gue? Kesuksesan lo yang enggak seberapa ini udah bikin lo angkuh dan enggak punya setting sebagus dulu? Hah, kocak! Ini adalah cara pelampiasan paling buruk yang pernah gue temui. Tapi kalo lo mau berubah pikiran dan mementingkan karir gemilang lo sebagai penulis tak berstatus, hubungi gue dalam 5 menit sebelum nomor lo gue blokir. Bay!’

Siapapun pengirim paket itu, dia akan berurusan dengan keluarga gue.

Kenapa bukan gue? Apakah gue secupu itu? Enggak. Gue bukan cowok cupu, Kawan. Kan kalian sendiri tahu, gue lagi sibuk bikin naskah baru.

Jadi, tetap stay cool dan ganjel perut dengan batu bata.

Lihat selengkapnya