Mr. Monoton

Syarif Hidayatullah
Chapter #5

Selamat Danta

Gue putuskan untuk menghubungi si pengirim paket. Merasa ada kemungkinan kalau ini kejadian ini merupakan latihan pasif menjadi aktor film-film hollywood, gue melakukan penyamaran dan mengganti penampilan gue dengan pakaian paling kepepet; baju main gue pas SMP. Dengan tampilan semacam ini siapa yang mengira kalo gue orang waras? 

Gue mengunci pintu rumah sambil berdoa semoga enggak ada maling goblok yang berniat mencuri ke dalam sepetak rumah berisi pakaian beracun. 

“Mau ke mana, Dre?” Setidaknya itu yang gue tangkap dari mulut satu-satunya tetangga gue yang paling baik, yang selalu jadi tameng dari kejahatan tetangga-tetangga yang lain. Dari awal gue tinggal di komplek ini sampai jadi gembel dadakan, gue belum tahu siapa namanya dan enggak pernah berinteraksi semesra ini dengannya.

“Gue mau ke depan. Mau cari taksi buat nelpon orang!” jawab gue rada teriak karena jarak antara gue dan dia menyentuh satu setengah meter.

Selanjutnya gue enggak paham dia ngomong apa. Gue coba memperagakan bahasa isyarat supaya dia juga teriak. Mungkin aja dia heran dengan pakaian gue, entahlah. Dia masuk dan enggak pernah kelihatan selama sepuluh detik.

Begitu gue mulai jalan melewati rumahnya, pintunya tiba-tiba terbuka.

Dia keluar dengan urat yang mengencang, raut muka naber, dan keringatnya mengucur deras. Dia menggotong papan reklame bertuliskan 'Jangan pernah berubah jadi orang lain dengan alasan apapun. Kita sudah berbeda dan sudah sama. Pertahankan siapa diri kita dalam keadaan paling rendah sekalipun'.

Masa bodo sama tulisannya, gue lebih kesian sama dia yang mau patah tulang gara-gara maksain ngangkat sendirian.

Gue langsung lari melompati pagar depan rumahnya karena kalo pagar belakang kejauhan. Seperti di layar tancep, ada momen slow motion di mana gue membuka mulut lebar-lebar, mengulurkan tangan, lalu terjatuh di area yang salah.

Udah jatoh beneran, sakit, salah lagi.

Gue bangkit menghampirinya yang hampir terjepit papan reklame.

“Lo ngapain betingkah kayak gini sih? Kalo lo sakit atau mati, rumah kita tetep deketan. Dan yang paling bahaya gue bakal diusir dari komplek neraka ini. Lo kan tahu, sekarang gue jadi gembel dadakan. Ngomong napa ngomong, jangan mangap bae!” Jadi kesel sendiri melihat mulutnya buka-tutup kayak ikan kehabisan napas.

Duh, enggak mungkin kan gue kasih napas buatan? Apalah daya bila waktu yang meminta adegan konyol ini dilakukan. Teriknya mentari mulai membakar kulit. Gue berusaha membakar malu, meskipun keadaan komplek lagi sepi. Iya, ini sedikit lagi. Hampir sedikit lagi menyentuh...

Lihat selengkapnya