Dunia SMA mengajarkan gue tentang sulitnya memahami keinginan cewek yang enggak bisa dipecahkan dengan rumus. Gampang gonta-ganti mood, pengennya menang sendiri, dan selalu benar atas segala hal. Akan tetapi dunia kampus menyadarkan gue tentang sulitnya membedakan kata “tulus” dan “mampus” dari lisan cowok. Ganteng dan kelewat mapan yang diimpi-impikan banyak cewek, dalam sedetik bisa berubah jadi lingkaran balas dendam.
Semakin lama membiarkan mereka saling menyakiti, maka semakin banyak korban tidak bersalah yang terjerembab untuk mengulangi kebodohan itu. Apa pendapat mereka jika diberi pertanyaan, “Siapa yang pantas disalahkan atas kekacauan ini?”
Serempak mereka mengatakan dengan lugas dan ketus.
“CINTA!”
Lantas cowok yang polos, kaku, bego, dan apa adanya kayak gue bisa berbuat apa di keadaan serumit itu?
Gue enggak masuk di kategori ganteng, dan enggak terdaftar di kualisi tajir. Maka berakhirlah gue sebagai jomlo stadium akhir yang enggak pantas mengharapkan apa-apa dari cinta.
Miris kah? B aja.
Terlalu angkuh? Bukan.
Beginilah cara gue melampiaskan sisi kuat yang berubah jadi lemah.
***
Tiga tahun yang lalu, gue adalah mahasiswa baru yang paling pucet dan enggak bisa diajak teriak-teriakan, tapi hebatnya bisa terpilih menjadi ketua barisan.
Sumpah, gue enggak tunjuk tangan atau menjual diri buat dimaki-maki. Gue udah ngumpet di belakang cowok gembul, item, dan keringetnya wangi banget pasar induk. Enggak tahu kenapa, kakak tingkat yang paling maco pada masanya, dikenal dengan sebutan Pala Kisut, menunjuk gue dengan lolipop rasa strawberry yang berlumur liur temannya.
“Gue pengen dia yang jadi ketua.”
Buntelan kentut di depan gue menggeser badannya secepat mungkin, walau menghabiskan waktu selama 10 menit. Gue celingak-celinguk diiringi suara kupu-kupu. Raut mereka datar, pandangannya tak bermakna, tapi yang jelas mereka setuju gue naik tahta jadi ketua.
Orang yang sama sekali enggak punya cikal bakal leadership, berdiri di depan puluhan MABA bersama sebelas orang terpilih lainnya untuk memimpin menyorakkan yel-yel. Ketua lain harus capek teriak memekakkan telinga dan menyekik tenggorokan. Gue hanya perlu mengangkat tangan, barisan gue langsung yel-yel serentak, mengalahkan barisan lain. Daripada gue memupuk dendam dengan cowok berbobot gelibek, lebih baik gue memanfaatkan kelebihannya menjadi sound dangdut yang suaranya menggelegar dan nge-bass parah.
Gue kira mereka bakal menghampiri gue dengan kampak dan palu tjolnir. Percis di samping kiri gue, cewek bermahkota rajutan daun saga, meniru apa yang gue lakukan. Bahkan dia lakukan dengan lebih baik.
“Lo kira cuma diri lo yang bisa punya kuasa sebagai ketua!” serunya ketus.
Mana gue tahu kalo ucapan itu ditunjukin ke gue. Jadi, gue cuek aja. Toh, kami sama-sama ketua yang enggak mau rempong.
Entah setipis apa urat malunya, di depan semua MABA dan bapak dosen yang kumisnya baplang, dia menyenggol bahu gue seraya berkata, “Peka dikit, bisa kali ya!”
Ya ampun, centil amat cewek ini. Gue jadi terpaksa meladeninya.
“Enggak usah nyenggol, nanti ada yang marah," sahut gue sesopan mungkin.
“Idih, sok ganteng! Kemarin ada tetangga gue yang sok ganteng kayak lo, terus besoknya mati nonggeng. Lo siap-siap aja."
"Enggak ada cowok yang sok cantik. Tolong inget itu, cacing kepanasan."
Kelihatannya dia mulai geram dan kehabisan kata-kata, tapi nyatanya dia malah makin nyolot.