Adrian mengguncang pelan tubuh Aleeya yang baru saja ia letakkan di kasur. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan gadis itu tergeletak di depan pintu kamar mandi. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama Aleeya tidak sadarkan diri, karena ia sedang bekerja dan tidak ada seorang pun di apartemennya.
Seminggu yang lalu Adrian membawa Aleeya ke apartemen miliknya usai pemakaman. Seminggu yang lalu juga ia tidak lagi berbicara dengan Aleeya. Gadis itu selalu menutup diri dan tampak uring-uringan. Adrian yang tidak ingin ambil pusing membiarkannya begitu saja dan tetap menyiapkan kebutuhan Aleeya.
"Aleeya, bangun! Aleeya bangun, Sayang!" pekik Adrian sambil menepuk lembut pipi Aleeya. Raut wajahnya tampak khawatir, karena gadis itu belum membuka matanya.
Sayang? Yah, Adrian biasa menggunakan panggilan itu bahkan sebelum mereka menikah. Adrian sudah menganggap Aleeya seperti keponakannya sendiri. Suara bel apartemen berbunyi, bergegas Adrian keluar untuk membukakan pintu.
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya seorang pria berkemeja light blue menenteng sebuah koper kecil.
"Aku tidak tahu. Aku mendapatinya sudah pingsan saat pulang tadi," jawab Adrian sambil menuntun jalan menuju kamar.
Pria yang bersama Adrian mendekati Aleeya yang terbaring. Wajahnya tampak pucat dan kusam. Bibirnya terlihat kering dan terkelupas. Pria itu mengecek denyut nadi, detak jantung, dan kelopak mata Aleeya dengan alat-alat yang ada di kopernya.
"Bagaimana keadaannya, Nan?" Adrian memperhatikan gerakan sahabatnya dari ambang pintu.
"Dia kelelahan, apa dia selalu begadang atau tidur dengan waktu yang cukup?" tanya Kinaan sambil menyiapkan sebuah spuit.
"Aku tidak tahu," jawab Adrian.
"Dasar aneh," lirih Kinaan yang melirik ke arah Adrian.
Adrian memang tidak tahu mengenai keseharian Aleeya. Karena ia selalu pergi pagi dan kembali larut malam. Ia hanya akan singgah sebentar untuk mengantarkan beberapa jenis makanan untuk Aleeya. Mereka juga tidur di kamar terpisah, kebetulan apartemennya memiliki dua kamar.
"Aku akan menyuntikkan vitamin."
"Lakukan yang terbaik."
"Apa dia masih bekerja paruh waktu sebagai dokter pendamping?" Tangan Kinaan dengan terampil meletakkan plester bekas suntikan ke tangan Aleeya.
"Yah, masih, tetapi akan berhenti." Nada suara Adrian mulai berubah tidak mengenakkan.
"Kenapa? Dia cerdas dan berbakat. Dia akan memiliki pengalaman lebih sejak dini. Jarang ada dokter pendamping sepertinya," jelas Kinaan panjang lebar.
"Dia harus fokus dengan kuliahnya," balas Adrian sambil mendekati Kinaan yang sudah berdiri dari posisinya.
"Yah, kau suaminya."
"Baguslah kalau kau mengerti."