Bu Ristal meledak. Eh, bukan meledak seperti balon, melainkan dia marah karena salah satu muridnya ketahuan main game online. Imbasnya, seisi kelas yang kena. Aku berdecak. Menyebalkan. Kalau mau nakal setidaknya cerdas sedikitlah. Pilih-pilih guru. Kayak Pak Doni guru Agama yang penyabar misalnya. Jangan yang modelan Bu Ristal, sedikit-sedikit menyemburkan bara api. Lebih bagus lagi kalau selama di kelas memperhatikan guru saja. Memang apa salahnya jadi murid teladan? Masih bisa keren tanpa harus nge-badboy atau nge-badgirl kok.
Daripada kupingku panas, kusumpalkan saja earphone berkabel putih ke telinga. Aman kok. Rambut lebatku yang sepanjang bahu dan saku bagian dalam almamater sudah cukup untuk menyembunyikan buntut kabel.
Sesudah main petak umpet untuk menyetel instrumen Yiruma yang berjudul "The Things I Really Missing You" (versi asli Yiruma, karena versi cover dari Mr. Secret Melody raib). Dentingan pianonya mambawa memoriku menjelajah ke tempat Mamang Counter kemarin.
Ingin rasanya marah-marah di tempat servis itu kalau tidak ingat betapa murah hatinya si Mamang yang memberikan potongan biaya sampai 50 %! Sebagai permintaan maaf yang sebesar-besarnya. Siapa yang tidak tergugu coba?
Lagipula aku gengsi kalau harus marah-marah di tempat. Bisa dianggap lebay sama Kana nanti. Dia pasti akan mengoceh dengan beberapa kata Bahasa Jepangnya. “Majide, Haru? (Serius, Haru?) Yabai! Sekarang kamu satu spesies sama cowok-cowok yang ngekhayalin cewek 2D. Sama-sama enggak nyata.”
Kana belum tahu saja, seberapa care-nya Mr. Secret Melody. Belum pernah ketemu saja sudah sepeka itu, gimana kalau sudah tatap wajah? Atau, jangan-jangan sebenarnya pernah ketemu namun aku saja yang tak sadar. Itu sebabnya dia tahu identitasku, kebiasan, dan lain halnya. Kana sempat bilang, jangan-jangan Mr. Secret Melody itu stalker ulung. Sedikit demi sedikit mengorek informasiku, lalu di saat yang tepat memanfaatkannya untuk kejahatan.
Masuk akal. Aku sempat mempercayai itu sampai terus-terusan mengabaikan pesan dari MSM—kusingkat saja, kepanjangan. Untung di hari kesepuluh, Lovy menyelamatkanku dari pengabaian itu. Katanya, “Itu romantis tahu. Bayangin seseorang mengagumimu sebegitu besarnya. Muncul cuman saat kamu terpuruk. Heroik banget.” Meski kurang logis, namun perkataan korban novel dan webtoon romance itu menghentikan aksi mogok ngobrolku dengan MSM.
Hari kian lalu. Gantian. MSM yang balik mengabaikanku. Selama sebulan penuh coba! Dan pesan terakhirnya itu yang belum sempat aku baca. Niatnya mau download aplikasi yang bisa menampilkan chat terhapus, tapi sialnya HP kereset. Jadi, judul instrumen ini benar-benar mewakiliku sekarang.
Ah, padahal aku tidak terlalu suka film romance, tapi kenapa aku jadi menye-menye begini?
Omong-omong, aku bisa yakin bahwa MSM itu cowok karena pernah dengar suara batuknya di lagu ciptaannya sendiri yang diberi judul “Cahaya Musim Semi”. Arti namaku. Cewek mana yang tidak dag dig dug panas dingin jika diperlakukan seistimewa itu? Ya, walaupun belum pernah bertemu sekali pun.
"Askara Haru!"
Aku mengerjap. Bu Ristal meneriakkan namaku sambil menggebrak bangku. Earphone buru-buru aku cabut.
"Kalian ini pada kenapa, sih? Yang satu nge-game, satu lagi cengar-cengir enggak jelas entah dengerin apa. Mau jadi apa nan ...."
SKIP. Aku yakin kalian bakalan bosan kalau mendengar ceramah dari guru Sejarah Indonesia itu. Intinya, dia kecewa dengan anak sekolah zaman sekarang yang lebih mementingkan gawai dan sosial media daripada memperhatikan lingkungan sekitar. Singkatnya, aku dan Dimas—gamers kemarin sore—disuruh keluar kelas. Tanpa ada hukuman tambahan. Hanya meninggalkan pelajaran.
Seharusnya aku bersorak “Hore!” seperti yang dilakukan Dimas sekarang. Namun, aku sadar nilai Sejarah Indonesiaku semester kemarin sangat minim. Salah satu alasan kenapa aku dipanggil Pak Johan. Pakai SP1 lagi! Peringatan! Bertanda bahwa beasiswa terancam.
Saat itu, untunglah Mr. Secret Melody datang menghiburku dengan pesan puitis dan melodi romantisnya. Itu adalah momen di mana MSM pertama kali menghubungiku via whatsapp.