Malam Jumat jam sebelas, mataku masih melek dengan sisa-sisa watt yang ada. Kueratkan selimut bermotif bunga-bunga hasil belanja Bunda kemarin untuk menyeimbangi udara Garut. Dari hasil pengamatanku pada daftar isi buku Penjasorkes, rangkumanku masih tersisa empat bab lagi. Mampus! Mana Coach Hana sudah kasih ultimatum. Katanya, kalau besok tidak dikumpul, nilai olahraga selama cedera akan kosong.
Mungkin tidak masalah jika aku anak pengusaha pariwisata kayak Lovy Hanasta atau anak dokter keturunan Jepang kayak Kameko Navya-Kana. Ancaman begitu akan berlalu begitu saja. Masalahnya, aku murid beasiswa yang kalau ada penurunan nilai sedikit saja bisa dengan senang hati didepak pihak Lara.
Kugetok batok kepala dengan pulpen. Kenapa juga aku membandingkan diri sendiri dengan kedua sahabatku? Haish, mereka juga punya kesusahannya sendiri, Ru!
Setelah menguap dan meregangkan badan, kuputuskan untuk melanjutkan tugas. Syukurlah lenganku sudah kembali normal. Tak bisa kubayangkan bagaimana kehidupan beasiswa di Lara tanpa tangan kanan lebih dari dua minggu. Remedial Fisika saja aku kelabakan. Apalagi ulangan-ulangan dadakan yang sudah jadi hobi para guru Lara. Babak belur nanti.
Saat tulisanku semakin acak-acakan plus dengan mata yang mulai redup-redup mau padam, ketukan di jendela menyengat hormon adrenalin. Laju pompa jantungku mulai tidak santai. Panca inderaku mendadak peka berkali-kali lipat. Suara pulpen jatuh di atas kasur pun terdengar jelas. Bulu roma bereaksi dengan berdiri tegak. Untuk beberapa detik aku sampai lupa bernapas. Freeze, istilah kerennya mah.
Otakku memang sudah tidak beres. Di situasi tegang begini malah adegan-adegan horor yang terlintas. Protagonis di dalam ruangan sendirian. Kejadian-kejadian janggal mulai menerornya. Ada sebuah suara yang mengalihkan seluruh atensi. Firasatnya buruk. Dia mulai panik sambil menggedor-gedor pintu. Mencoba kabur, flight. Tapi terkunci.
Di saat itulah saraf-sarafnya dipaksa untuk lebih waspada dengan kemungkinan yang ada. Satu-satunya cara untuk menghadapi 'musuh' adalah fight. Habisi jika perlu. Go to hell! Tapi, bukannya mengirim 'musuh' ke neraka, si tokoh utama malah keburu pingsan gara-gara jumpscare.
Hentikan! jerit batinku.
Tapi malah terngiang cerita para tetangga soal dukun sakti yang baru meninggal sebulan lalu. Katanya, arwah penasarannya rutin mengunjungi rumah warga setiap malam Jumat. Konon, dia suka mengganggu anak gadis. Aku harap ini bukan jadwalnya berkunjung ke rumahku.
Kuputuskan untuk meluruskan tubuh di atas kasur. Mencoba untuk tidur. Siapa tahu dukun atau apa pun yang telah mengetuk jendela lelah sendiri karena aku abaikan. Jika beruntung, aku bisa bangun jam tiga pagi untuk salat tahajud sekalian mengerjakan tugas. Namun ...
"Askaran Haru ... Haru ...."
Dukun sialan! Dia stalk mangsanya dulu sampai tahu namaku? Benar-benar genit!
Tentu saja netraku tak bisa terpejam. Dengan sisa keberanian yang ada, kuberjinjit ke depan pintu. Maksud hati mau pindah ke kamar Bunda, tapi ... "Ini benar-benar terjadi. Dari mana dukun genit itu punya kunci serep kamarku?"
Tak mungkin bagiku mengulangi kesalahan para protagonis di cerita horor. Aku harus tenang. MSM bilang cukup tarik napas, tahan beberapa detik, lalu hembuskan. Ulangi berkali-kali. Biar lebih afdol, kubacakan juga ayat kursi dan surat-surat pendek agar arwah dukun itu kepanasan. Berhasil. Ketukan di jendela serta suara yang memanggil namaku terhenti.
"Haru tega banget sih bikin orang ganteng katirisan (kedinginan). Buka jendelanya dong."
Aku baru sadar bunyi maskulin itu bukan berasal dari arwah dukun genit. Suaranya familier.
Dengan napas memburu, kuambil sarung dari lemari. Menyingkap gorden, lalu membuka kaca. Sruk. Dapat! sorak batinku.
"Eh, eh, ini Alan Danadyaksa, cowok puitis yang manis itu. Ru lepas! Engap."
Bukannya melepas, semakin ageresif aku menguyeng-uyeng pihak yang bersangkutan. Rasakan! Itu akibatnya membuat malam Jumatku kesetanan.
"Katanya katirisan. Tah, aku sarungin." Kubiarkan saja sarung bercorak putih-biru itu membuntelnya.