Kana meguap mirip buaya yang menganga menunggu mangsa. Jika Lovy melihatnya, aku yakin dia akan ditegur. Bawa-bawa tatakrama dan keanggunan seorang wanita. Sayangnya, Lovy fokus ke depan. Seolah memperhatikan. Padahal matanya merem.
Nah, beginilah kondisi XI-IPA-1 saat pelajaran PKn. Hanya beberapa orang yang mempunyai mata kuat. Murid dari golongan top five tentu saja.
Benar juga. Aku tidak terlelap. Ah, bukan karena masuk murid golongan atas itu. Aku tidak mendengarkan penjelasan Pak Suhe. Itu saja.
Sedari bel berbunyi, belum ada satu pun pelajaran yang masuk ke otak. Rasanya kepalaku lebih tertarik menengok jendela daripada materi di papan tulis. Padahal objek di luar jendela tidak begitu menarik. Hanya kendaraan yang berputar-putar lalu berbelok menuju jalan lainnya. Angkot biru dan cokelat yang masih kosong menunggu penumpang. Lima patung pahlawan dan air mancur kecil di pusat persimpangan lima jalan. Orang-orang menyebutnya sebagai Simpang Lima.
Hal yang biasa-biasa saja.
Mungkin bakal lebih seru kalau ada adegan kejar-kejaran antara polisi dan kriminal. Ala-ala film aksi. Yang satu membunyikan sirine, yang satunya lagi mengebut kesurupan. Sisanya—pengendara biasa dan warga—cuman bisa planga-plongo atau panik berlebihan. Perpaduan kaget dan takut yang sempurna. Namun kenyataannya, Garut cuman kota yang terlalu wajar. Saking wajarnya apa mungkin ada sesuatu yang berusaha disembunyikan Pemerintah? Seperti pendaratan alien misalnya, atau penemuan duyung di Pamengpeuk.
Aha! Aku tahu otakku terlalu liar kalau urusan imajinasi. Sepertinya akan bagus untuk dijadikan konsep film. Harus ditulis!
Tapi sebelum berhasil memegang pulpen, sekumpulan siswa yang sedang bermain basket mencuri atensi. Beberapa orang dari mereka aku kenal. Dari XI-Bahasa-3. Akan tetapi, cuman satu yang benar-benar menarik perhatian: dalang di balik roller coaster pada Jumat kemarin sampai sekarang.
"Puisi itu emang ambigu. Dan emang tugasnya. Kata Robert Frost puisi yang bagus adalah yang ditulisnya begini tapi maksudnya begitu."
Kurogoh secarik kertas dari saku almamater abu-abu. Ck! Padahal baru ditulis kemarin, tapi sudah lecek saja.
Sapu Terbang
By: Alan Danadyaksa
Menahun ...
Aku belum bersih-bersih
Kotor, ada yang menyadarkan
Namun hatiku enggan berjerih
Lama ...
Aku kehilangan sapu
Sapunya terbang sendiri
Suka dilempar si wajah besi
Si anggun menangis sejadi-jadi
....
Baru dua bait, tapi puisi itu berhasil membawaku ke ruang Sinematografi. Sekitar jam setengah lima sore, Jumat lalu. Alan dan aku yang kecapaian memulai obrolan. Ternyata yang dibahas serius.
Saat membaca puisi "Sapu Terbang" untuk pertama kali, yang terlintas di benak cuman seseorang yang gundah gara-gara tidak bersih-bersih. Kepunyaannya pun ludes diambil tikus. Alan bilang itu tak salah. Pembaca punya hak sendiri untuk menyimpulkan. Namun, lain ceritanya ketika Alan yang membacakan. Merinding. Penghayatannya seakan meneriakan, "Pesan implisitnya lebih dari itu!"
"Ya, mau gimana lagi? Menyakitkan sih, tapi kalau kejadian itu enggak pernah ada, aku mungkin enggak bakalan bisa buat puisi. Naif ya? Tapi aku setuju sama ungkapan 'semua pasti ada hikmahnya'."