Aku menyerah pada penikmat gratisan yang tak ada habisnya. Pengunjung kafe Mami Shelly macam tentara yang mau perang saja. Pergi satu, seribu lainnya menyerbu. Tentu saja aku, Kana, Lovy, dan seluruh staf banjir oleh keringat. Napas kami tersenggal-senggal. Jangan tanyakan bagaimana kondisi tubuhnya. Niat mampir ke sini mau makan-makan, nyatanya malah gerah-gerahan.
Tapi aku ikhlas kok membantu Nyonya dan Putri Hanasta ini.
Sebenarnya, membludaknya pengunjung itu hal wajar mengingat letak kafe yang strategis, di depan Lara. Desain interiornya juga instagramable banget. Cocok untuk anak muda kurang tongkrongan. Di lantai dua ada perpustakaan. Siapa saja bisa membaca buku, novel, atau komik secara gratis sambil mengemil. Bila belum menyentuh halaman terakhir, buku bisa disewa sampai batas yang telah ditentukan. Fix, Lovy banget!
Terlebih lagi resep Mami Shelly memang fantastis. Membuat lidah melilit-lilit ketagihan. Jangan lupakan nama kafenya yang unik, Tren Zones. Kalau dibaca pakai B. Inggris artinya jadi zona-zona tren. Beda lagi kalau orang Garut yang mengucapkannya. Bakal jadi "Tren Jones".
Kedua sahabatku tertawa. Ya, Lovy baru menyadari penemuanku itu.
Kata Mami Shelly, sempel gratis akan beres dibagikan sampai jam delapan nanti. Makanannya tentu menyesuaikan dengan jumlah pengunjung. Aku berdecak kagum. Pasti dia sangat percaya diri kalau modalnya akan cepat kembali.
Acara utamanya setelah ini. Staf Kafe Tren Zones mulai menata kursi sedemikian rupa. Dekorasi putih-cokelat yang sudah terpasang dirapikan lagi. Beberapa staf cowok menggotong benda berwarna hitam, meletakannya di atas panggung. Tak lama, kursi kecil ikut menyusul. Benda itu tampak mengkilap setelah dilap Teh Pipit.
Kulemparkan pandangan pada Lovy yang baru menyesap habis lemonade. Lengannya sibuk megibas ke depan dan belakang secara bergantian. Wajahnya merah padam. Tuan Putri kelelahan sepertinya.
"Vy, ada pertunjukan piano juga?"
Dia langsung menatapku. Namun kali ini jenisnya tatapan jenaka. Bibir ranumnya mencetak senyum yang bisa membius cowok mana pun. Alih-alih menjawab dia malah menggodaku. "Haru, kira-kira Mr. Secret Melody itu kayak gimana, ya?"
Aku memutar bola mata. Malas. Kusendok sepotong puding jeruk agak besar lalu mengunyahnya dengan sekuat tenaga. Apa sih? Bikin orang dag-dig-dug enggak jelas aja.
"Udah jelas dia stalker." Kana menyahut. Walaupun begitu, belum berhasil menghentikan debaran jantungku.
Rasanya sudah lama sekali MSM menghilang. Setiap terdengar instrumen Yiruma, memoriku langsung lari padanya. Benar-benar menyesakkan mengingat bagaimana aku kehilangan kontak MSM. Sampai saat ini aku merutuki kecerobohanku.
"Kalau kamu tanya aku, kurasa MSM itu orang yang romantis. Lihat saja pesan-pesan puitisnya. Aku meleleh Ru." Perkataan Lovy itu langsung membuatku tertoleh. "Aku ingat yang ini, 'Askara diambil dari Bahasa Sanskerta. Artinya cahaya. Haru adalah Bahasa Jepang dari musim semi. Kamu adalah cahaya musim semi orangtuamu. Cahaya penuh harapan'."
Aku yakin bola mataku kayak mau lepas. "Ka-kamu baca?!"