Kata Lovy, penampilanku mirip zombie. Kana menyahut, dia bilang aku kayak bibinya yang depresi gara-gara kerjaan kantor. Aku memutar bola mata. "Terserah."
Setelah mendudukkan diri, aku mengambil buku paket Sejarah Indonesia. Membukanya, lalu kuletakan di depan kepala. Ya, untuk menutupi fakta bahwa aku akan tidur di pelajaran Bu Ristal.
Nekat memang, tapi rasa kantukku tidak memedulikannya. Pokoknya minimal tidur di dua jam pelajaran. Sayangnya, otakku malah sudah bekerja lagi. Dia bilang, "Hayoo! Mau diceramahi atau nilai turun?"
Aku berdecak. Ke mana saja, sih? Kenapa baru jalan lagi sekarang wahai Otak? Kalau saja kemarin-kemarin tak macet, aku tidak akan begadang sampai jam empat subuh! Akan tetapi, walaupun otak tetap molor, Kana dan Lovy akan bersikeras mencegah perbuatanku. Tampak dari mereka yang menggoyang-goyangkanku kala kepala di letakkan di atas meja.
Kana merogoh saku almamater. Dia mengeluarkan permen rasa lemon. "Daripada kena pidato Bu Ristal, mending tunda dulu kantuknya pakai ini." Wajahnya tampak was-was. Setelah aku menerimanya, baru dia bernapas lega. Memang perhatian, tapi aku paham maksud lainnya. Dia telah menyelamatkan satu kelas.
Efek yang luar biasa setelah memasukan permen itu ke mulut. Sangat masam. Sampai berhasil membuat mataku melotot.
Tepat setelah bel berbunyi, Bu Ristal memasuki kelas. Mulutnya sibuk berdecak-decak mendapati beberapa murid yang telat.
Pelajaran dimulai, untung saja dia tak sempat membanding-bandingkan kami dengan anak zaman dulu. Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Kana. Ah, iya, ingatkan juga lain kali jangan pernah menerima permen dari dia!
***
Kantin Lara laris manis. Sekejap saja langsung penuh. Banyak anak Lara yang kehabisan tempat duduk. Meski aku dan Lovy sempat pergi ke toilet, kami tetap mendapat jatah bangku karena punya seseorang yang bisa diandalkan dalam segi kecepatan dan daya tahan. Lengkap dengan pesanannya lagi.
"Kana, lain kali ajarin aku ilmu nyeledek, nya?"
Lovy tertawa. Jangan berharap dia terbahak-bahak apalagi terbatuk-batuk karena tersedak. Maklum, didikan keluarga sultan.
"Hm, boleh. Tapi minum susu peninggi badan dulu, ya?" Menyebalkan!
Aku tak mau membahas lebih dalam soal fisik. Sesuatu yang sudah dititipkan Tuhan dan tidak bisa dirubah. Makanya, aku paling tidak suka diskriminasi dengan alasan hitam, pendek, cungkring, gendut, atau pesek. Memang apa hebatnya jika lebih cantik atau menawan daripada yang lain? Toh, tidak akan pernah memilikinya jika Tuhan tidak memberikan. Kelebihan fisik bukan untuk disombongkan.
Dalam kasus tinggi badan mungkin masih bisa diperbaiki. Masalahnya untukku tidak berlaku. Pernah kelas sembilan aku meminum produk peninggi badan. Tapi bukannya tinggi, duitku malah berkurang drastis.
Seusai terkikik, Lovy menyedot milkshake-nya. Menopang dagu, mulai membuka obrolan lain. "Kana, kata Coach Hana minggu depan sudah mulai turnamen, ya?"
Aku mengikuti pose Lovy. Memperhatikan.
Kana yang sibuk dengan baksonya mengangguk. "Yabai! Baru babak penyisihan. Lawannya langsung yang kelas atas." Aku tak menangkap ada nada getir di sana. "Klub basket SEMEA*. Mereka yang masuk final di Sinar Pelajar Cup kemarin."
"Wah, bakal susah dikalahkan," ucapku takjub.
Kana menarik bibirnya membentuk lengkungan parabola yang sempurna. Ah, aku mengerti. Meski tahu lawan mainnya berat, dia percaya diri dan bersemangat.
Lovy menepuk pundaknya. "Sukses! Aku yakin tim kita juga enggak akan kalah. Apalagi aku dengar kalian sempat dilatih sama shooter hebat dari generasi pertama."
Aku sempat tahu rumor menarik perihal shooter itu. Katanya, dia kehilangan sesuatu yang berharga di saat pertandingan. Tidak terpuruk terlalu lama. Dia bangkit dan menjadi shooter langka yang cuman muncul satu dasawarsa sekali. Keren.