Laskar menggetok kepalaku. Kurang ajar! Tapi saat mau balas dendam, dia sudah menggeser kursinya, menjauh dariku.
Kutekankan kalimat, “Sakit tahu!” tanpa bersuara. Dengan santainya dia menopang dagu, menatapku malas. Iya, hanya segitu saja responnya. Menyebalkan.
“Ru.”
“Apa?!” timpalku galak.
Cowok itu meletakan sesuatu di atas mejaku. Botol air mineral. Setengah kosong. He? Laskar menyuruhku minum air bekas dia?
“Tenang sedikit. Bukan cuman kamu yang bersemangat di sini.” Kulihat, jemarinya tak bisa diam. Bergetar. Bukan karena gugup. Anak itu rajanya santai.
Lalu kualihkan pandangan pada Indra Makarim. Wajahnya tampak datar, namun kakinya sibuk mengentak-entak. Tatapannya tak lepas dari satu-satunya pintu yang bisa diakses peserta. Ah, begitu rupanya. Laskar benar. Tapi, tetap saja. Apa maksudnya memberikan botol setengah kosong itu?
“Kamu yang paling agresif dari tadi. Indra bahkan sampai memarahimu, kupikir cacingannya bakal sembuh kalau sudah dikasih minum.”
Apa? Cacingan? Tunggu! Perasaan dari tadi aku cuman memainkan pulpen. Itu pun karena gabut sudah setengah jam menunggu, tapi peserta belum masuk-masuk. Bosan meletakannya di antara bibir dan hidung, aku berinovasi dengan menggoyangkan-goyangkannya. Sekilas tampak jadi lembek. Tapi karena kelepasan, pulpen mendarat di kepala Ketua. Langsung dipelototi (tidak sampai dimarahi, Laskar saja yang lebay). Segera aku memasukannya ke kotak.
Berdasarkan itu Laskar menyimpulkan aku cacingan? Memangnya cacingan bisa sembuh kalau dikasih air putih?
“Kayaknya ada masalah di administrasi.” Komentar Indra Makarim berhasil membuatku fokus kembali. “Mereka ternyata lambat,” lanjutnya.
Aku dan Laskar membuang napas berbarengan. Kompak tanpa sadar. Kami saling pandang. Dia terheran. Aku menatapnya nyalang. Masih murka dengan ketukan di kepala plus sebutan ‘cacingan’.
“Mau gimana lagi? Enggak ada pilihan. Malahan, kita yang harusnya berterima kasih karena sudah dibantu.”
Aku menepuk pundak cowok berkulit Indonesia banget itu. Agak keras. “Woah, ternyata Tuan Muda punya hati yang lembut, ya.” Cowok itu mendelik. Aku tertawa dalam hati. Dia paling tidak suka dengan panggilan penuh kekuasaan seperti itu. Meski sebenarnya Laskar adalah anak pemilik Lara. Namun daripada itu, aku setuju dengannya.
Weekend ini ekskul Sinematografi mengadakan casting. Karena beberapa hal, Indra Makarim membagi kami menjadi dua tim.
"Kita enggak mungkin menampilkan orang-orang asli dalam cerita, kecuali Alan. Seperti yang Alan bilang, ada yang sibuk, pindah ke luar kota, bahkan meninggal. Jadi, kita memerlukan cast," tegas Indra Makarim sebelum menutup pertemuan terakhir kami.
Tim pertama bertugas menentukan pemeran. Indra Makarim dan aku diutamakan. Dikarenakan jabatan kami sebagai produser dan sutradara.
Untuk hari ini, Alan tidak berpartisipasi karena mengajari Pak Nataprawira membuat puisi. Katanya ulang tahun sang Istri tak lama lagi. Tapi, besok dia siap hadir, bagaimanapun dialah yang lebih berhak menentukan orang-orang yang akan memainkan kisahnya.
Lalu, muncul Laskar dengan dalih, “Juru kamera juga perlu tahu siapa yang bakal dia shot nanti.” Ketua menyutujui, padahal aku tahu dia cuman terlalu mager untuk masuk kelompok kedua.
Sea, Zoya, Agung, ditambah Lamda masuk ke tim ini. Mereka mengurus masalah setting. Mulai dari perizinan tempat, waktu, sampai masalah biaya kalau ada. Lamda tertarik karena sedang membutuhkan refreshing untuk otaknya yang mau membuat komposisi. Tim dua berangkat lebih awal dan sudah memborong berbagai surat izin yang bertandatangan.
Sementara urusan administrasi, kami meminta bantuan OSIS. Syukurlah mereka mau bermurah hati. Tapi bukan jadi alasan untuk membenarkan kelambatan kinerja mereka, kan? Lagipula, protes sedikit tidak akan mengurangi rasa terima kasih kami.
Akhirnya setelah berpuluh-puluh masehi, peserta pertama masuk. Ibu-ibu sepantaran Bu Ristal. Kami bertiga saling pandang setelah Bu Icih menyebutkan peran sebagai Mama Alan.
"Maaf, Bu. Tapi kami membutuhkan 'Mama Alan' usia 20-30 tahunan." Indra Makarim berusaha ramah.
Bu Icih malah tergelak. "Hei, Jang! Meski sudah kepala empat, asal wajah masih terlihat muda mah enggak masalah," timpalnya percaya diri sekali.
Justru karena itu, Bu!