Mr. Secret Melody

ChiciUzm
Chapter #10

Kilasan Emosi

Sama seperti Lamda, aku tak langsung betemu kawan-kawan Sinematografi. Bedanya, kalau dia ke toilet aku mampir ke gedung belakang sekolah. Untuk melampiaskan emosi tak jelas sambil merutuki kecerobohan.

Awalnya mau menempelkan kening pada batang pohon retak-retak, namun tak jadi karena tahu saat pertama kali coba rasanya sakit.

Akhirnya yang bisa kulakukan cuman menjerit tertahan sambil mengentak-entak kaki ke tanah. Memejamkan mata. Persis waktu itu. Lamda gajeeeee! Kenapa enggak langsung jelasin saja? Mau bikin aku keder nunggu seminggu? Eh, ini kan gara-gara aku yang cuman bisa iya-iya. Argh, Mr. Secret Melody kapan balik? Lama amat pensiunnya. Oh iya lupa, aku sendiri yang ngilangin kontaknya. Au ah ....

HP di saku celanaku bergetar. Tanpa melihat kontak, kuangkat dengan perasaan malas. Ganggu orang yang lagi salting saja!

"Halo ...."

"ASKARA HARU!"

Hampir saja aku membanting ponsel kurang cerdas itu. Untung di saat begini otakku jalan untuk mencegahnya. Ingat, apa yang terjadi sama MSM!

Masih dengan perasaan kaget, kubaca nama penelepon kurang didikan ini. Pantas saja.

"Di mana? Sebentar lagi mulai! Bukannya kemarin kamu yang paling semangat?"

Indra Makarim tidak berteriak saja aku merinding, apalagi penuh sentakan seperti ini?

"Oh, itu In, tadi aku tersesat. Audisinya di aula, kan? Aku otw ke sana."

Bodo amat dengan alasanku itu. Sekarang yang penting segera memelesat ke ruang audisi.

***

Harus kuakui, jadi orang pendek memang susah. Punya kaki yang tak terlalu panjang membuatku harus melangkah lebih banyak jika mau cepat-cepat. Akibatnya, baru sampai di depan pintu napasku habis. Ngos-ngosan berat.

Badanku membungkuk, sementara kedua tangan menumpu di lutut. Saat itulah, suara yang tadi menyentakku muncul.

"Wah, wah, beneran tersesat, ya? Masuklah! Sebentar lagi audisi dimulai."

Aku cuman bisa mengangguk. Untung saja dari rumah aku menguncir rambut. Kalau digerai mungkin bakal acak-acakan.

Dari posisi ini, kulihat kaki Indra Makarim mengarah ke luar pintu. Mataku mengikutinya. Tepat setelah melewati ruang OSIS, dia berbelok. Satu-satunya ruangan yang ada di sana cuman toilet.

Kusadari juga antrean di depan ruang OSIS tidak terlalu ricuh. Lebih tertib. Ah, mereka sudah memperbaiki kinerjanya. Kurasa tidak akan ada lagi keterlambatan seperti kemarin.

Baru saja mau menegakan tubuh, dari bawah sini seseorang menyodorkan botol padaku.

"Butuh minum?"

Lagi-lagi botol setengah kosong. "G."

Sebelum melenggang ke dalam aula, aku malah melakukan aksi mirip para pencuri. Melongok ke pintu tanpa ada niatan masuk.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan tim dua. Mereka sudah pergi, ya? Syukurlah.

Ini bukan berarti hari-hariku akan berjalan lancar. Ada satu sosok lagi yang menyebalkan. Dengan santainya dia berdiri di depanku, menghalangi pandangan.

"Cari siapa? Orang ganteng? Di sini. Hadir."

Aku mendengkus. Melengos saja sambil melewatinya.

Yaaa, setidaknya aku berhadapan dengan cowok-cowok menyebalkan bukan yang membuatku salah tingkah.

***

"Nama saya Zikri Pahlevi, dari Garut Kota. Usia tujuh tahun. Memilih peran sebagai Kak Alan usia tujuh tahun juga. Ada Abi yang menunggu di luar." Meski baru perkenalan, aku tahu anak ini punya rasa percaya diri tinggi. Namun, kenapa juga dia harus memberitahu keberadaan abinya?

Tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Apalagi sampai berspekulasi dan membuat teori konspirasi. Minimal untuk saat ini, aku berusaha mencegah otakku berimajinasi.

"Tidak ada naskah untuk para calon pemeran Alan. Artinya tidak akan ada akting. Namun sebagai gantinya, kami meminta adek untuk membacakan puisi. Sudah siap?" Kulihat dia mengangguk, tanpa ragu. Baiklah, saatnya mengucapkan kalimat yang membuatku semangat. "Tiga, dua, action!"

"Padahal baru tujuh detik yang lalu dia bilang enggak ada akting," komentar Laskar benar-benar menusuk.

Alan terkikik. "Pffft, apa dia masih pusing gara-gara tersesat tadi?"

Lihat selengkapnya