“Aku berasumsi bahwa hujan tak hanya soal awan, bahwa hujan tak hanya jatuhkan air ke daratan. Aku rasa dia turun ‘tuk berikan ruang pada sesak-sesak yang sedang berjuang.”
Aku setuju dengan Sea. 'Kalau bisa’ Alan tidak ikut ke tim mana pun. Karena baik menjadi juri atau keliling lokasi, akan sama-sama membangkitkan lukanya. Ah, seharusnya Alan tidak perlu menjadi tokoh center. Sebab sama saja dengan mengalami kejadian pahit itu dua kali.
Cowok yang rambutnya lepek karena kehujanan itu malah tergelak. Jarinya menunjukku. “Mukanya biasa aja Ru. Enggak usah mangap-mangap gitu.”
Sialan! Buru-buru aku menutup mulut. Memutar tubuh untuk membelakangi makhluk menyebalkan itu. Hatiku panas dingin gara-gara kejadian barusan. Seabsurd apa wajahku tadi? Mudah-mudahan tidak sampai mirip ikan arwana koleksi Pak Nataprawira di ruang Kepsek. Tapi Alan belum berhenti tertawa, artinya wajahku lebih boloho daripada itu.
Kurasakan bahuku ditepuk. Dengan napas yang tersenggal-senggal, Alan mengoceh kembali. “Tenang .... Anggap aja yang tadi cuman ... pecobaan. Nanti di film kalau ada adegan nangis bakal lebih dramatis.”
Dasar! Sia-sia aku mencemaskannya tadi. Ternyata itu cuman percobaan? Tapi, kenapa harus ada kata 'anggap'?
“Omong-omong, pas nangis tadi tetep ganteng, kan?”
Kutepis lengan Alan yang masih nangkring di bahu. “Bodo amat, Lan. Bodo amat.”
Melihat hujan semakin deras, kumasukan kresek berisi arloji Seiko dan kertas hasil rapat ke dalam tas. Takut basah dan takut hancur gara-gara kuremas-remas.
“Sebenarnya selain adegan romantis, ada hal lain yang kupikirkan saat hujan. Mau coba kutunjukan?” Suara Alan terdengar parau. Meski aneh, aku pernah mendengar intonasi yang sama sewaktu mewawancarainya. Lagi, perasaanku tidak enak.
“Kamu beruntung Ru, sudah mau dua kali aku bacakan puisi. Walaupun aku ini cowok manis berotak puitis, enggak sembarang cewek bisa mendengar aku bersyair. Ya, saat hujan otakku deras mengalirkan kalimat puitis.”
Alan dan narsis memang tidak bisa dipisahkan. Tapi kali ini malas menanggapi kata-kata tinggi hatinya. Kuputar bola mata. “Oh. Enggak tertarik.”
“Sip! Dengar baik-baik.” Sepertinya telinga Alan butuh penanganan serius. Aku harus mengobrol dengan Ayah Kana, siapa tahu dia punya rekomendasi dokter THT.
Tanpa kuiyakan, langsung saja Alan mengubah ekspresi kepedeannya menjadi wajah memelas. Mirip kucing tetangga kalau belum di kasih makan. Alan memandang hujan. Menatapnya gamang. Membiarkan telapak tangannya menyentuh tetesan air. Sepertinya dia berusaha menciptakan efek sedramatis mungkin. Sebenarnya semua itu tidak perlu karena ....
“Aku berasumsi bahwa hujan tak hanya soal awan, bahwa hujan tak hanya jatuhkan air ke daratan. Aku rasa dia turun ‘tuk berikan ruang pada sesak-sesak yang sedang berjuang.”
Suaranya saja sudah cukup untuk memaksaku merasakan emosi yang disampaikan si penyair.
Alan beralih menatapku. Manik cokelat terangnya tampak redup. Ada emosi tak terdefinisi di dalamnya. Entah karena sotoy atau memang benar, aku mengerti apa yang sedang dirasakannya.
“... Karena aku tahu, di balik rasa sendu, ada emosi yang memburu.”
Detik itu, angin berdesir.
Lagi-lagi aku terlambat menyadari aroma parfum cokelatnya.