Peserta lolos audisi sudah diumumkan di feed instagram. Besok, mereka bisa mengambil naskah.
Sea dan segerombol tim dua melapor. Semua tempat yang dibutuhkan untuk syuting sudah mendapat izin resmi.
Lamda memberitahu bahwa komposisinya belum sempurna. Butuh sedikit sentuhan akhir. Indra Makarim tidak keberatan. Aku ikut-ikutan saja sambil menghindari tatapan Lamda. Tapi, cowok rapi itu malah terkikik. Ah, mani—JANGAN AMNESIAKAN KEJADIAN KEMARIN!
Beralih ke Alan, cowok itu semakin besar kepala. Saat upacara, Pak Nataprawira mengumumkan proyek film “Sajakku Titipan Mereka” yang digarap ekskul Sinematografi secara resmi. Kontan saja anak Lara bersorak ria. Jangan harap mereka heboh karena bangga dengan ekskul yang hampir musnah tahun lalu yang bahkan tidak punya guru pembimbing ini. Anak Lara, khususnya cewek, menjerit alay karena bintang utamanya si makhluk narsis menyebalkan. Dan barusan, cowok itu berceloteh tentang arti namanya yang luar biasa sambil mengibas rambut sok ganteng.
Katanya, Alan berarti tampan. Danadyaksa bermakna penjaga kejayaan. Cowok itu menyimpulkan bahwa sejak lahir dia sudah ditakdirkan untuk menjaga kejayaan ketampanan di seluruh muka bumi.
Seluruh anggota Sinematografi kecuali Lamda dan Laskar memasang wajah pingin muntah ke toilet.
Rapat hari ini membahas Estimation Production Time—perkiraan waktu syuting—dan tetek bengek persiapan lainnya.
Empat hari sudah diputuskan. Mencomot Sabtu dan Minggu di setiap pekan.
Dua hari sebelum syuting, para pemeran akan melakukan reading, pemahaman terhadap peran di dalam naskah yang akan dibimbing oleh sutradara (alias aku), Zoya, dan si pemilik cerita. Aku mengusulkan untuk membuat storyboard* supaya para pemeran mudah memahi setiap adegan dalam naskah. Indra Makarim menyerahkan tugas itu padaku. Untung gambarku masih enak dipandang. Berkat pengalaman waktu kecil.
Ditutup dengan penjadwalan syuting yang akan dilakukan secara rundown. Hari pertama dan kedua di tempat tinggal Alan yang dulu. Lalu beberapa adegan di rumah Kakek Alan dan terakhir di SMP Bagja Mulia. Selama empat hari itu aku yang akan memberi pengarahan. Bertanggung jawab atas hal-hal kreatif yang berada di lapangan. Ya ampun! Aku akan menjadi sutradara betulan bukan sekadar sutradara dalam imajinasiku saja.
Rasanya seperti meluncur ke antariksa lalu disambut kerlap-kerlip bintang cantik. Akan tetapi, ketika mau menggapai bintang, roketku malah terhadang asteroid. Ada kecemasan yang mengganggu pikiranku!
Begitu bubaran, cepat-cepat aku mengunci ruang Sinematografi. Berlari tak santai untuk mencekal lengan seseorang. Harus kutuntaskan segera agar roketku bebas memelesat!
“Kenapa tiba-tiba?” Dia menentengkan kepala ke kanan. Poninya ikut bergoyang ke sana. “Oke, tapi setelah bertemu dengan Pak Nataprawira. Kamu tunggu di sini.” Alan mengedipkan sebelah mata. Buru-buru aku melepas cengkeraman.
“Ikut aja. Kalau pembicarannya rahasia, aku bisa jaga jarak.” Kutunjukan earphone yang berbelit di saku almamater. “Bisa dengerin musik.”
Alan mengacungkan jempol. Kuanggap sebagai persetujuan.
Syukurlah. Aku masih trauma tinggal di koridor Bahasa sendirian. Takut dipentog Bagas lagi.
***
Dua puluh menit lebih tujuh belas detik aku menunggu. Sudah menghabiskan dua gehu dan sebungkus cimol. Sudah kali kelima lagu di HP berganti. Mulai dari sentuhan musik yang membuat kepala merenung sampai lagu yang bikin kaki terentak-entak. Dan Alan belum datang juga. Tak ada tanda-tanda pintu mobil Mitsubishi Xpender warna merah yang sering nongol di iklan itu akan terbuka.