Selasa-Rabu kuhabiskan waktu malam untuk membuat storyboard. Kupasang wajah tebal untuk menghubungi Alan. Memintanya menjelaskan gambaran lebih detail peradegan. Berjalan lancar. Meski sekadar aku bertanya, dia menjawab. Bodo amat. Demi profesionalisme. Walau janggal tidak mendengar mulutnya membeokan kenarsisan.
Kamis-Jumat kami dipaksa berkoordinasi lagi. Kali ini kehadiran Zoya dan storyboard membantu banget. Para pemain juga mudah menangkap maksud dari visualisasinya. Hanya sedikit adegan yang harus kujelaskan detail karena ada sketsa yang naudzubillahi min dzalik ancurnya. Efek mengerjakan saat gaya newton di mata makin berat kayaknya.
Entah harus bangga pada akting aku dan Alan yang menyamai aktor hollywood atau merutuki ketidakpekaan anggota Sinematografi yang jauh di bawah rata-rata. Mereka bersikap biasa saja seakan tidak mengendus bau aneh dari gelagat kami. Mengajak kami berdiskusi. Alan menanggapi. Aku menimpali. Meski sebenarnya Alan tak pernah merespon ucapanku. Hei! Ingin rasanya aku naik kursi lalu menjitak kepala Alan lalu berteriak sambil minta maaf tepat di telinganya. Memangnya mau sampai kapan perang dingin ini berlangsung? Mau nunggu Jupiter pindah galaksi dulu? Atau gurun sahara beku?
Amit-amit deh. Yang pasti, kalau ingin masalahnya selesai aku harus cepat minta maaf. Tapi entah kapan. Masih sibuk.
Akhir pekan tiba. Syuting dimulai. Maunya sih jingkrak-jingkrak happy, tapi amigdala memprotes. Katanya masih merasa bersalah dengan kejadian itu. Jadilah tubuhku ikut terpengaruh. Datang ke lokasi syuting dengan rambut amburadul (kuakali dengan memakai topi), lingkaran hitam di mata yang mengerikan, lemas, tidak ada semangat.
Sewaktu mengantar tadi, Bunda malah bilang, “Bagus. Kamu jadi tambah mirip Ayah.” Dia mendengus setelah beres memindai anaknya dari ujung ubun-ubun sampai ujung sepatu. “Acak-acakan. Wajah kawas jurig. Sok ngalamunkeun nu euweuh (Wajah mirip hantu. Sering melamunkan yang enggak ada). Tali sepatu panjang sebelah. Bedanya kamu pendek, Ayah rata-rata. Lebih tinggi Bunda sama Shahrukh Khanlah.”
Aku melengos. Dua kalimat terakhir itu apa hubungannya?
Terhenyak saat sesuatu atau seseorang menimpuk kepalaku. Tidak terlalu sakit namun sudah cukup untuk membuat ubun-ubun seseorang mendidih. Kulihat tangan Bunda bergerak heboh. Tak salah lagi. Ampuni segala dosa-dosanya Ya Allah ....
“Ini janji yang Haru buat untuk Ayah, bukan? Tapi Bunda percaya, itu bukan sekadar janji untuk menghibur Astrada yang baru dipecat. Jauh dari lubuk hati, Haru mengakui bahwa menjadi sutradara adalah keinginan sendiri. Bunda bangga sama kamu. Haru sudah maju satu langkah untuk menggapai mimpi. Bunda bangga karena Bunda sendirilah yang membesarkan Haru sampai menjadi Haru yang sekarang.”
Banyak pengulangan kata. Tidak efektif. Kekurangan diksi. Tapi mataku memanas.
Setelah mencoba ‘mengelus’ kepalaku yang terlindung topi, Bunda dengan sepeda motor merah mudanya hilang di ujung tikungan. Kuusap mataku pelan. Mengamati telapak tangan yang sempat bersentuhan dengan kulit kasar Bunda. Lengan Bunda berubah warna menjadi hijau pekat penuh retakan. Pasti karena mengurus tomatnya di kebun kemarin. Tanda kerja kerasnya untuk menghidupiku.
Kalau sudah begini aku malu pernah meragukan diri sendiri. Bahkan Bunda pun mengorbankan waktu dan fisiknya karena percaya padaku. Seharusnya aku juga percaya pada kemampuan sendiri.
Seperti yang dikatakan MSM, “Hidup ibarat perjalanan. Terjal atau tidaknya kamu yang akan hadapi." Dengan kata lain, dalam setiap perjalanan pasti akan ada banyak batu yang menghadang. Tersandung atau melakukan kesalahan adalah hal wajar. Tugasku cuman satu, terus melangkah.
Kenapa baru sekarang aku mengingat pesan sebijaksana itu? Padahal kalau kemarin-kemarin tidak melupakannya, ada kemungkinan wujudku tak semirip zombie pagi ini. Huft, otakku memang selalu bertindak semaunya. Melupakan hal yang harus kuingat dan mengingat hal yang harus kulupakan.
BRAK.
Mengagetkan. Aku mengerjap.
Teriakan anak kecil. Ramai. Menyalahkan nama Ndi dengan irama yang diayun-ayun. Banyak bangku berdesakan. Kursi berjejeran. Anak kecil berseragam SD—oh, aku pasti berada di ruang kelas dua SD Silih Asih saat ini. Empat orang bergeming. Trippod yang terguling. Dan ... tidak! Kameranya ....
“Alah, Ndi. Gantian. Pejet nu si Akang. Eh, eh, Ndi tong lumpat! (Awas, Ndi. Ganti rugi. Punya Akang rusak. Eh, eh, Ndi jangan lari!)”
Bocah dengan kepala botak menubrukku. Hampir saja aku mengira dia tuyul kalau tidak sadar dia pakai seragam SD. Sekilas aku melihat wajahnya yang memerah dan mata yang ditutupi lengan kanan. Dia berlari keluar kelas, entah ke mana. Yang pasti aku yakin dia mau minggat dari suasana yang tidak mengenakan ini.
Selang beberapa detik, semua anak menyusulnya. Berlari kesetanan seolah berburu harta karun. Menyisakan empat orang berpakaian serba hitam. Sepertinya aku kenal mereka.
Ups! Aku lupa masih berada di posisi terjengkang. Untung saja ada orang yang membantuku bangun. Mengalungkan lenganku pada lehernya agar tubuhku seimbang (walau yang ada, lehernya malah ketinggian sehingga aku bangun lalu berjinjit). Kalau aku tetap di posisi setengah rebahan, yakin deh kakiku akan diinjak masal.
“Kamu enggak apa-apa?”