“Mau cokelat?”
Bukannya menyahut, anak kecil yang bertengger di batang pohon jambu malah menggoyang-goyangkan kaki. Seakan suara tadi cuman angin lewat.
“Ya, sudah.” Wanita berseragam kedinasan dengan jilbab kuning itu membuka bungkus cokelat bermerek mahal, memakannya dengan watados. Lahap pula. Kuharap perutku tidak terpancing untuk membunyikan suara mengingat ini jam-jam krusial. “Enggak dicariin orangtua? Aku juga sih.”
“Iyalah! Ibu kan udah jadi ibu-ibu!” sentak Zikri sedikit kesal. Teh Meida tak menghiraukan. Dia malah memanjat pohon. Ikut bertengger di batang yang sama dengan Zikri. Untung saja dia memakai celana, bukan rok sepan yang memenjarakan langkah. Meski aku sendiri yang menyusun naskah, tetap saja adegan ini membuatku geli. Teh Meida tidak salah sih. Karakter Bu Laras memang begitu. Sifatnya ... unik.
Video di layar monitor bergerak halus. Tidak bergoyang meski Laskar berpindah-pindah tempat untuk menangkap gambar dari kedua pemain. Di sinilah aku tahu betapa bergunanya shoulder rig* itu. Tak jauh dari sana, ada Agung yang membawa tongkat hitam panjang dengan bagian atas dipenuhi bulu, mirip kucing. Sementara tim lighting—Sea yang dibantu Lamda, harus bekerja lebih keras di scene ini, sebab pengambilan gambar dilakukan di halaman belakang SD Silih Asih yang mirip hutan belantara versi perkebunan jambu, sudah sore pula.
Kedua pemain berakting dengan kece. Tak kusangka Zikri mampu memerankan karakter Alan kecil yang pendiam dan emosional sebaik itu. Padahal sifat aslinya sangat berlawanan.
Begitu pun dengan Teh Meida. Ini lebih epic lagi. Karakter yang dimainkan sampai terbawa ke kehidupan nyata. Pernah Teh Meida bilang kalau seblak dicampur jambu biji tak kalah lezat dari makan jambu biji pakai seblak. Aneh dan memusingkan. Khas Bu Laras sekali.
Firasatku bilang, tak perlu banyak take di adegan ini. Maka Haru, kamu bisa iseng sekarang.
Kulirik tenda di tengah lapang. Sehabis break, seluruh pemain diangkut ke sana untuk dibenarkan kembali riasannya—Zoya yang bertanggung jawab di sini, kecuali pemain yang jatah aktingnya habis seperti Alan. Namun, cowok itu tetap masuk dan tak pernah keluar. Padahal kukira, ini adalah adegan penting yang ingin ia tonton.
“Aku enggak pernah berharap bertemu orang seaneh dia. Peduli, tapi cuek. Marah, tapi nangis. Senang, tapi sedih. Enggak enakan, tapi blak-blakan. Dia melakukan hal yang berlawanan secara bersamaan. Namun sialnya, dari sekian juta orang malah dia yang memotivasiku bikin puisi.”
Teng, teng, teng ... teng ....
Aku mengerjap. Suara itu ....
Teng, teng, teng ....
Reason, salah satu instrumen ciptaan Yiruma.
“Cut!”
Indra Makarim menutup clapper board*.
Aku melirik semua kru dan pemain sembari memberi isyarat, “Suara apaan, tuh?” Namun, semuanya menggeleng.