‘Asal pakai, asal nyaman’, itu baru moto hidupku yang benar. Lovy sampai bilang aku tidak punya selera fashion. Siapa yang peduli? Toh semua bajuku layak pakai, kenapa harus pilih-pilih? Dulu, mungkin akan kujawab begitu. Lain lagi ceritanya sekarang. Belum pernah aku mendapati kamarku seberantakan ini hanya karena mencari satu baju yang cocok dikenakan untuk bertemu dengan Lamda!
Harap digarisbawahi! Bunda yang riweuh!
Sejak aku pulang, Bunda tidak bisa diam. Berjalan menuju dapur. Lari ke kamarku. Berteriak, “Sudah mandi belum?” Ke dapur lagi. Melanjutkan acara menumis bawangnya yang tercium sampai kamar. Mengetuk pintu kamar mandi. Memarahiku karena belum juga keluar dari sana. “Kamu abis tidur, ya? Lama banget!”
Tak cukup sampai di sana, Bunda tega membuat anaknya mengingil. Tubuhku cuman dibuntel selembar handuk. “Jangan pakai baju dulu!” intruksinya lalu mengeluarkan seluruh isi lemari. Mengacak-acak semua pakaian. Ditilik, dilempar, dipilah, dilempar. Parahnya, setelah melakukan banyak lemparan, Bunda masih bilang belum ada yang cocok.
Aku menggigit bibir. Bagaimana cara membereskan kekacauan ini nanti?
Bunda baru menyerah ketika bunyi klakson terdengar. Kucek HP. Dari Lamda, dia menunggu di luar. Bunda terpaksa menjatuhkan pilihan pada kemeja berkerah lebar dengan pita dan rok berwarna merah muda. Rambut sebahuku yang tadi sempat dipakaikan rolan jadi agak bergelombang. Wajahku didandani Bunda. Tak mau terlihat seperti ibu-ibu, kuhapus bedak dan lipstik pakai tisu. Memakai topi berwarna krem yang tidak nyambung. Bunda pun melotot. Aku pura-pura tidak melihat.
Lamda tetap tampil rapi meski stelannya casual. Dia memakai hoodie dan celana jin putih. Mengenakan outfit kotak-kotak cokelat, sepatu bermerek mahal, dan rambut yang disisir ke belakang, menampilkan jidatnya yang mulus tanpa jerawat.
Cowok itu tersenyum ramah. Aku melengos. Sial! Lekukan di pipinya tampak manis.
“Lam, jaga anak Bunda baik-baik, ya.” Ucapan Bunda kayak aku mau di bawa ke mana saja.
Lamda terkekeh sehabis melihat ekspresi cemberutku. “Tenang aja, Bun. Haru akan kembali utuh tanpa lecet.”
Tunggu, ‘Bun’? Perasaan Lamda dan Bunda baru bertemu sekali. Itu pun gara-gara motor mogok. Dan sudah seakrab ini? Lovy dan Kana bahkan butuh berbulan-bulan untuk memanggil Bunda dengan ‘Bunda’.
Setelah berpamitan, Lamda menyalakan mesin. Tanpa disuruh, aku langsung mengganti topi dengan helm. Duduk di belakangnya dengan posisi menyamping. Lamda meninterupsiku untuk berpegangan padanya. Kutolak dengan tekad bulat. Tak mau hormon di dalam tubuhku makin lompat-lompat ria.
Astaga, aku masih belum tahu maksud dari ajakannya ini.
***
Meja nomor empat belas. Posisi tepat di sebelah kiri atau kanan kolam ikan koi, tergantung bagaimana kamu memandangnya. Kafe yang ramai. Mengambil konsep ala-ala negeri tirai bambu. Kalau sudah malam, aku yakin lampion-lampion yang menggantung di setiap sudut dan tiang akan menyala dengan cantik.
Di depanku, Lamda terlihat tenang memilih menu. Sementara di sini, aku kelabakan mengendalikan imajinasi. Lamda tampak rapi. Tinggal tunggu dia bermain piano. Bunga-bunga? Ikan koi cocok juga untuk suasana romantis. Ya ampun!
Cowok itu mendongkak. Aku terhenyak.