Kalau ada yang lebih menyeramkan dari Pak Johan dan Bagas, serempak anak Lara khususnya yang beasiswa menjawab: ‘Lima Tuntutan Bealara’. Bealara bukan Beacukai. Singkatan dari Beasiswa Lara. Bunda sampai mempigura kertas tuntutan itu. Meletakannya di meja belajar. Menjadikannya alarm peringatan paling mematikan kalau aku bolos belajar. Bahkan, tak segan kertas bertandatangan itu menghantui mimpiku. Kalau aku iseng, mungkin akan kuberi judul “Lima Tuntutan Bealara dan Perjanjian Tidak Berdarah” diproduksi oleh Limbic System House, disutradarai oleh Sir Brain Amygdala yang diadaptasi dari novel karya Hipotalamus. Tayang setiap malam. Saksikan di Bioskop Nightmare terdekat!
Isi tuntutan atau perjanjian itu antara lain:
Aku lebay sampai hapal isi tuntutan itu di luar kepala? Bahkan Zoya tahu detail tanda tangan Pak Nataprawira. Pernah berhasil menirunya pula.
“Ru, udah bel masuk?”
Kulirik sekilas jam tangan digitalku. Lalu menggeleng. Kembali fokus pada catatan. “Masih ada waktu lima menit lebih empat detik.”
Agung kembali duduk tenang. Mengerjakan soal-soal yang dipenuhi gambar peta, tanggal, dan nama-nama pahlawan.
“Teh, soal ini digimanain, ya?” Cewek berkerudung mencolek bahu. Geli. Dia menyodorkan buku penuh angka padaku.
Soal Fisika!
“Zoya, coba tanya Indra Makarim.” Kutunjuk cowok bermuka serius yang tengah memelototi sebuah kamus. Di sampulnya ada huruf-huruf aneh yang mengingatkanku pada email yang sering diterima Kana dari teman masa kecilnya di Ohayo.
“Teh, Kang Indra, kan jurusan Bahasa.”
Oh, iya lupa. Cowok itu teman sekelasnya Alan. Jadi, aku cuman menyerengeh, tanda tak sanggup menangani soal Fisika. Pada akhirnya, Zoya membuka HP lalu bertanya pada Dosen Google.