Aku tengah memeriksa kesiapan lapangan saat Indra Makarim menghampiriku. “Udah beres di-make over.” Aku paham makna implisitnya. Sebelum beranjak ke tenda, kuperhatikan sekali lagi kelas yang berada di lantai dua SMP Bagja Mulia. Memiliki jendela di kedua sisi yang sangat besar membuatku sempat mengira ini rumah kaca. Laskar memasang filter tambahan untuk mengurangi cahaya yang masuk ke kamera. Aku kagum pada murid-murid di sini yang tahan belajar dengan kondisi matahari menyorot panas. Apa bedanya dengan belajar di lapangan kalau begitu?
Agung sendiri sibuk mengurus kabel. Menyiapkan microphone agar dapat merekam audio dengan baik.
Sementara Sea yang dibantu Lamda sedang membereskan kelas. Mengatur tampilannya seperti yang kuminta. Agak berantakan namun tetap bersih. Cocoklah untuk setting film anak SMP yang belum terlalu dewasa untuk mengurus kelas. Sebelumnya, mereka juga sudah menata koridor. Memasang alat bantu untuk mengurangi cahaya. Percayalah, jika SD Silih Asih adalah sekolah suram dengan hutan belantaranya, SMP Bagja Mulia malah kelebihan cahaya dengan rumah kacanya. Kayaknya kalau pasang panel surya bakal terkumpul banyak energi. Lamda tersenyum ke arahku, saatnya pergi.
Si Astrada Indra Makarim mengikutiku. Kami sampai di tenda. Ada sepuluh orang, enam cowok dan empat cewek termasuk Zoya. Sedang duduk melingkar. Hm, kurang satu. Kutepuk tangan sekali untuk meminta perhatian. Otomatis mereka mengarahkan mata padaku. Aku tersenyum riang. Nyaris seperti anak kecil yang baru diberikan balon dan es krim. Sampai saat ini aku masih sulit percaya, kru dan seluruh pemain bisa aku ajak koordinasi tanpa menyudutkan usiaku yang lebih muda atau tinggi badanku yang lebih pendek dari mereka.
“Semuanya, ini hari terakhir proses syuting. Kurasa enggak perlu menginterupsi hal yang sama seperti tiga hari ke belakang. Kali ini aku cuman mau bilang, ‘tunjukan improvisasi terbaik kalian dan beraktinglah dengan penuh kreativitas.’”
Begitu saja para pemain bersorak ria. Indra Makarim batuk-batuk lebay. Mengejek kata-kataku. Kubalas dengan menginjak kakinya. Haha.
Kuinterupsi mereka untuk membaca naskahnya kembali, memahaminya agar syuting berjalan lancar.
Indra Makarim kusuruh untuk memerika lokasi syuting sekali lagi. Sementara itu, aku mendekati anak laki-laki berseragam SMP yang duduk menyender pada tiang koridor. Tidak bisa diam. Seperti ada jarum yang tertanam di bokongnya. Kutepuk pelan bahunya. Dia terperanjat. Kertas yang kupikir adalah naskah hampir terjatuh. “Eh, Teh ... Teh Haru.”
Aku mengernyit. Keringat di dahinya banyak sekali. “Fajar, kamu tau di mana Alan?”
Mata cokelat anak itu sibuk mencari-cari. Memaksa otaknya mengingat-ingat. Sementara tangan dan kakinya malah sibuk bergetar. Reaksi ketakutan. Dia gugup rupanya. Padahal kemarin oke-oke saja. Oh, mungkin karena dia akan baca puisi untuk pertama kali di depan kamera. Ya, Fajar bukan terpilih karena cara baca puisinya yang bagus. Dia terpilih karena tidak ada lagi yang mendaftar sebagai Alan usia SMP.
“Jar, kalau aku mau omonganku lancar, di depan orang banyak atau di situasi awkward, biasanya aku ngomong sambil merem. Kamu tahu kenapa?” Mata anak itu berhenti lirik atas kana kiri. Menatapku lalu menggeleng. “Supaya bisa berimajinasi sesukaku. Membayangkan hal apa pun yang bikin aku senang dan buat aku tenang. Aku enggak nyuruh kamu buat merem, tapi coba cari jalan keluar dari masalahmu dengan imajinasi.”
Aku menangkap sorot kecerdasan di matanya. Bagus. Aku tak perlu repot menjelaskan detail.
Fajar akhirnya ingat di mana terakhir kali ia bertemu Alan. Di tangga. Sepertinya dia mau ke lantai tiga. Aku tersenyum melihat keringat di dahinya yang mulai berkurang. Ya, sudah sewajarnya para pemeran Alan tampil percaya diri. Malahan, Alan yang kukenal terlalu percaya diri sampai narsis enggak ketulungan.
Benar dugaanku, makhluk narsis itu ada di atap.