"Bu Laras tinggal di mana sekarang?"
Alan menggaruk hidungnya. "Ikut suaminya ke Bandung. Alamat lengkapnya aku enggak tau. Terakhir kali aku hubungin dia buat kasih tau aku juara lomba cipta puisi se-na-si-o-nal.”
Tetap ada sisa-sisa kenarsisan yang bikin mual. "Yaah, enggak bisa wawancarain dia. Selamat Lan, film ini murni versi kamu."
Aku membentur-benturkan kepala ke tembok. Menjerit macam orang kesurupan. Mengacak-acak rambut yang kini mirip orang kurang waras. Biar saja. Dari awal aku memang sudah gila. Bagaimana mungkin aku percaya begitu saja pada satu versi cerita, tanpa mau berusaha untuk menggali versi lain? Dan, akhirnya aku menyesal setelah tahu kebenarannya.
Pak Seto tidak mungkin melupakan Bu Laras karena memang tidak ada diingatannya. Bukan sekadar kepercayaan buta. Dua hari setelah acara penayangan primer, aku segera mengorek informadi. Kudatangi SD Silih Asih. Mencoba basa-basi dengan Kepseknya, lalu berakhir gagal. Aku malah bertindak to the point. Ingin melihat arsip pegawai sepuluh tahun lalu, begitu kataku.
Bu Sania terkejut, namun tetap memberikanku izin. Syaratnya cuman satu: tidak boleh membaca arsip rahasia. Aku mengangguk. Bukan masalah.
Berdebu. Usang. Tentu saja. Akhirnya arsip itu kutemukan. Daftar pegawai dan guru SD Silih Asih sepuluh tahun lalu. Langsung kupindai ditempat. Baca cermat. Baca ulang. Tidak ada nama Larasati Putri!
Tubuhku lemas. Seperti ada yang menggodam dadaku kuat-kuat. Pandanganku pun kabur. Setelah mengucapkan maaf karena telah merepotkan dan terima kasih karena sudah mau direpotkan, aku berpamitan pada Bu Sania. Berangkat dari pengalaman masa lalu, kuhubungi tukang ojek kenalan Bunda. Ragaku menuju rumah, sementara ruhku kehilangan arah.
Berhari-hari aku begini. PR tak dikerjakan. Tugas ditinggalkan. Ulangan berantakan. Lovy sampai menyarankanku untuk diruqyah. Kana memaksaku untuk memeriksakan diri pada psikiater yang pernah menangani bibinya. Sungguh, aku cuman butuh waktu sendiri. Dan, mereka mengerti.
Harusnya aku sudah curiga sejak awal. Bapak Alan yang menolak wawancara, kakeknya yang tidak bisa diajak bicara karena struk. Lalu, Bu Laras yang tidak bisa dihubungi. Alan hanya mengambil kesempatan pada celah yang kuciptakan: kepercayaan.
Andai aku tidak langsung percaya, andai aku tidak bersimpati dengan masa lalunya, andai aku tidak cemas, semuanya tidak akan kacau begini. Bahkan setelah mengetahui kebenaran bahwa Bu Laras hanya tokoh fiktif, aku tidak bisa apa-apa.
Bagaimana reaksi anak Sinematografi begitu tahu bahwa cerita di STM itu palsu? Sesaat, mereka akan bernapas lega. Film belum disebarluaskan. Tapi sampai kapan? Cepat atau lambat pihak Lara akan menagihnya. Jika disembunyikan akan dianggap korupsi. Jika disebarluaskan sama saja bunuh diri. Orang-orang yang mengenal Alan sejak kecil pasti menyadari kejanggalan dalam cerita. Lalu, kebohongan terkuak. Citra Lara memburuk. Dua pilihan yang memiliki ujung yang sama: anggota Sinematografi terancam dikeluarkan meski ada Laskar sekali pun. Dan, aku tidak tega memberikan Bunda ‘hutang’.
“Arggh!” Air mataku merebak. Akhirnya aku teriak.
“Haru, ada apa?”
Telingaku pasti keliru. Tidak ada seorang pun di sini.
“Askara Haru! Ada apa? Kenapa Alan bisa menipumu?”
Ternyata ada.
Aku membelalak. Bagaimana bisa ... apa karena kebiasaanku curhat pada benda mati? Ah, aku pasti kelepasan. Dan rupanya, aku tidak cuman menyalahkan diri sendiri. Kurapikan rambut dan wajah walau gagal. “Lam, aku ke toilet du ....”