Begitu pintu Kepsek tertutup, Indra Makarim mendengkus. “Kenapa kamu suka banget sebut namaku lengkap, sih? Geli sendiri dengernya. Liat ekspresi Pak Nataprawira tadi? dia nahan tawa, tuh. Kayaknya pas kita keluar dia ngakak. Lagian, Askara Haru, sama aku kamu bisa panggil ‘In’, kenapa sama orang lain ‘Indra Makarim’?”
Aku meringis, menggaruk tengkuk, memutar bola mata, apa pun untuk menghindari tatapannya. Menusuk tahu!
“Oke, aku nyerah! Enggak ada alasan khusus. Enak aja manggil kamu gitu. Berasa pernah denger ....” Aku harus mengalihkan topik agar Indra Makarim berhenti mengoceh. “Mendingan, kamu segera umumin keputusan Pak Nataprawira soal film palsu itu. Aku yakin, mereka udah enggak sabar dan Laskar pasti mau cepat pulang.”
Berhasil! Hore!
Indra Makarim mendahului. Pamer kecepatan kaki dan daya tahan tubuh. Dia pikir aku peduli? Tidak. Aku lebih memilih jingkrak-jingkrak di koridor. Mumpung sepi dan lagi happy.
Pernah membayangkan rasanya memeluk bulan? Pernah merasakan puasnya keliling galaksi sepuluh kali? Pernah ikutan give away yang syaratnya cetek tapi manangnya sulit? Lalu dengan segala kemustahilan itu, kamu malah keluar sebagai pemenang? Puas. Bangga. B-A-N-G-E-T!
Jadi, setelah Alan menjelaskan semuanya, anggota Sinematografi cuman membisu. Aku paham walau tidak diberitahu. Ibaratnya, cerita yang tertanam di kepala mereka direset ulang. Blank. Sedetik kemudian langsung dimasukan data baru. Butuh proses dan waktu.
Alan berkali-kali minta maaf dan berjanji akan menanggungnya sendiri. Aneh, orang yang tinggi hati mendadak merendah. Tapi, memang sudah seharusnya begitu. Bahkan, aku sempat ingin menjebloskan Alan ke penjara plus menendangnya ke Antartika. Lebay? Rasakan sendiri bagaimana sakitnya ditipu.
Alih-alih mengamuk, anggota Sinematografi jauh lebih bijak daripada yang kuduga. Mereka cuman bilang memaafkan, lalu mendiamkan Alan. Meminta Alan berdiskusi, tapi saat eksekusi tidak dilibatkan. Omongannya dianggap kayak lalat yang nempel di hidung. Singgah sebentar lalu digebah. Ya, siapa juga yang berminat tersenyum ceria sambil mengucapkan kalimat penenang yang terdengar munafik kayak: “Hei, Alan! Sungguh, aku enggak apa-apa. Aku rela kamu tipu.”
Diskusi selesai. Indra Makarim dan aku diutus untuk menjelaskan duduk perkaranya pada Pak Nataprawira. Tanpa Alan. Kubawa file STM karena kata Laskar, “Siapa tahu berguna.”
Aku dan Indra Makarim masuk ke ruangan yang lebih sempit dari kelas, tapi lebih mewah dibanding ruangan lainnya. Duduk menghadap pria setengah abad berjenggot dan berkulit reyot.
Penjelasan Indra Makarim ditanggapi dengan alot. Pak Nataprawira jelas marah besar, walaupun si penipu pernah punya jasa padanya.
Dengan takut-takut kujelaskan ulang. Menyinggung proposal Indra Makarim yang langsung disetujui. Mengarah pada: Lara cuman mau melihat prestasi. Tentu saja kuselip-selip. Begini-begini, aku termasuk manusia tidak enakan. Lumayan. Ekspresi Pak Nataprawira mengendor. Malah, pipinya berkedut ingin senyum. Apa si Ketua tadi bilang? Pak Nataprawira sedang menahan tawa karena panggilanku pada Indra Makarim.
Meski begitu, Pak Nataprawira keukeuh akan menskors kami. Sebulan penuh pada tahun ajaran baru. Saatnya memakai kartu As. Kuperlihatkan hasil kerja keras kami kemarin. Pak Nataprawira menonton dengan khidmat. Bahkan, di menit terakhir, dia mengelap ingus. Otakku bilang, bisa jadi Pak Nataprwatira begitu karena sedang flu, bukan terharu. Good thingking!
“Baik. Bapak tidak akan menskors kalian. Tidak ada surat peringatan juga. Sebagai gantinya, perbaiki film ini. Selesaikan sebelum masuk ajaran baru. Dananya, bisa diatur nanti. Iya, Bapak memberikan kesempatan kedua. Jangan disia-siakan.”