Sebuah rumah megah dengan desain ala jepang berdiri kokoh di hadapannya. Di depan terdapat kolam ikan koi yang terbuat dari batu alam dengan pancuran di pinggir yang membuat suara terdengar tenang. Bangunan rumahnya sendiri di desain dengan kayu Jepang terdiri dari kolom vertikal, balok horizontal, serta penyangga diagonal, tersusun tanpa paku sama sekali. Atapnya besar dan lebar.
Rumahnya mengingatkan Ghendis dengan film dorama jepang ‘cursed in love’ meskipun rumah di depannya dibuat lebih modern.
“Silahkan Nona Ghendis,” ucap Tyo membukakan pintu rumah.
Ghendis teringat kantong plastik yang masih ia bawa. Gadis itu mengambilnya di dalam mobil dan dengan cepat turun dari mobil masuk ke dalam rumah itu. Benar dugaannya, sama seperti rumah-rumah jepang terdapat koridor yang menghubungkan satu ruangan ke ruangan lainnya. Ghendis mengamati dengan linglung.
“Kita masih di Bandung kan?” tanya Ghendis dengan suara serak.
“Ini masih di Bandung.” Jawab Tyo mengiyakan.
Ghendis hendak berkata lagi, namun Tyo sudah membuka salah satu pintu dan gadis itu tertegun menatap di dalamnya. Berbeda dari luar yang tampak sangat kejepangan. Di dalam ruangan yang Ghendis duga sebagai ruang kerja, di mana terdapat meja besar di tengah ruangan di lengkapi seperangkat komputer, di setiap dinding terdapat rak buku yang memenuhi dinding, ruangan bernuansa abu putih dan terdapat akuarium besar di sudut ruangan.
Ruangan yang tampak nyaman dan impian Ghendis jika suatu hari ia sukses dengan karirnya, ia ingin memiliki ruang kerja seperti itu. Lalu, mata Ghendis menatap satu pria yang memandangnya sangat dalam. Pria yang pernah Ghendis temui sebelumnya, Ayah dari anak kecil itu.
“Pak, Nona Ghendis sudah datang.” Lapor Tyo setelahnya memberi anggukan sedikit pada Ghendis dan keluar dari ruangan.
Ghendis menelan ludahnya merasa bingung dan canggung karena harus berdiri tegap. Mengingatkannya ketika ia dihukum oleh gurunya ketika masih sekolah karena lupa mengerjakan PR.
Hiro menatap Ghendis dari atas hingga bawah. Gadis itu mengenakan celana kulot hitam dan jaket hoodie berwarna abu. Rambutnya diikat sembarang hingga anak rambut beberapa tergerai dari ikatannya membuat Hiro gatal ingin membenarkannya. Ghendis juga tidak memakai riasan sama sekali, kulit kuning langsat, alis tebal hitam, mata lebar dan menatapnya dengan sorot tajam, hidung yang cukup mancung, bibir mungil dan sedikit merah muda.
Hiro terpana. Sejak kapan gadis dengan riasan polos seperti itu tampak seksi di matanya?
“Lihat apa?” tanya Ghendis menahan kecanggungannya.
Hiro berdeham sedikit terkejut karena ini pertamakalinya ia ditegur oleh perempuan. “Silahkan duduk.”
Ghendis mengangguk dan duduk di kursi. Ketika Hiro akan berbicara, Ghendis tiba-tiba mengangkat tangannya seakan menginterupsi.
“Kenapa?” tanya Hiro melongo.
“Maaf Pak, saya haus.”
Hiro mengambil ganggang telepon dan tidak lama berbicara. “Siapkan minuman dan cemilan ke ruangan saya.” Setelahnya pria itu menutupnya dan kembali menatap Ghendis. Hiro meneguk ludah merasa linglung dengan dirinya sendiri.