Ghendis menatap marah pada Hiro dan Hiro membalas menatap melotot. Tidak ada satu pun yang mencoba memalingkan wajah selama beberapa menit hingga seseorang mengetuk pintu di luar.
“Masuk.” Perintah Hiro dingin tanpa melepas tatapannya dari wajah Ghendis.
Seorang pelayan datang membawa nampan berisi teko dan beberapa cemilan. Ghendis sedikit teralihkan perhatiannya namun sedetik kemudian kembali menatap Hiro.
Pelayan diam-diam menatap majikannya yang sedang beradu tatap dengan seorang wanita mungil. Ia sebenarnya penasaran karena ini pertama kalinya ada tamu seorang wanita ke rumah pribadi tuannya. Namun mencoba menutup rasa ingin tahunya, ia segera keluar dari ruangan dan menutup pintu.
Setelah beberapa menit, Hiro menghela nafas dan memalingkan wajahnya dengan jengah sementara Ghendis menyipitkan matanya dengan bibir sedikit melengkung. Gadis itu melirik sekilas kardus perang yang sudah tercabik-cabik dan kembali duduk sambil menuangkan minum untuk dirinya sendiri.
Hiro memijit pelipisnya merasa pusing dengan kelakuan gadis di depannya. Sepertinya membawa Ghendis ke kediamannya adalah kesalahan besar. “Nona Ghendis, saya tidak menyangka jika anda begitu..... bebas.”
Ghendis tidak mengatakan apapun dan sibuk mencicipi kue. Isi kepalanya disibukkan bagaimana ia harus mengganti kondom sialan itu untuk adiknya.
Hiro cemberut melihat tidak ada respon apapun dari Ghendis. “Kamu tahu jika penggunaan barang itu,” tunjuknya pada dus nelangsa itu. “Tidak 100% aman? Resiko untuk hamil itu cukup besar dan saya yakin jika anda tidak ingin hamil sebelum menikah.”
“......”
“Saya sarankan anda untuk menikah lebih cepat daripada harus mencari pria untuk memuaskan hasrat anda.”
“Terimakasih atas sarannya,” jawab Ghendis acuh.
Hiro mengangkat sebelah alisnya. “Jadi.... kamu...ada rencana untuk menikah?”
“Apa itu penting untuk Bapak?” tanya balik Ghendis.
Hiro terdiam.
“Jika tidak ada yang harus dikatakan saya mau pulang, karena saya sibuk mencari pria untuk memenuhi hasrat saya.”
Hiro mengepalkan tangannya, entah mengapa rasa amarah kembali datang ke dalam dirinya. Lelaki itu mencoba menenangkan diri dengan menghembuskan nafas berkali-kali.
“Saya ingin kamu menemani anak saya, Akira. Itu tujuan saya membawa kamu ke sini.” Ujar Hiro ketika Ghendis hendak berdiri.
“Menemani anak Bapak? Menjadi pengasuh? Guru? Tapi saya sudah pensiun sebagai guru jadi saya rasa anda mencari orang yang salah.”
“Saya hanya ingin kamu menemani Akira seminggu beberapa kali, tidak harus tiap hari dan saya akan membayar kamu dengan harga mahal.”
Ghendis menatap tertarik. “Harga mahal?”
“Sebutkan harga yang kamu mau dan saya akan menerimanya.” Ucap Hiro dengan nada sombong.