Setelah menemani Akira selama dua jam, akhirnya Ghendis diizinkan pulang dengan diantar Tyo.
Sesampainya di depan rumah, setelah Tyo pergi, Ghendis buru-buru kembali menuju supermarket dan dengan gesit kembali membeli sekotak sarung tempur sialan itu dan kembali ke rumah.
“Sejak kapan supermarket kita jauh? Kamu.... kamu tahu kalau kamu sudah pergi hampir setengah hari?” tanya Mama melotot marah.
Ghendis menghela nafas, ia lupa mengabari Ibunya padahal dirinya membawa HP. Ghendis menyimpan kantong belanjaan di atas sofa dan mengambil kantong kecil yang sudah ia pisahkan untuk di simpan di kamar Chitra. “Aku tadi mampir ke warnet.”
Mama menarik tangan Ghendis dan menepuk punggungnya cukup keras beberapa kali. “Kamu itu sudah dewasa, kenapa kayak anak kecil main ke warnet hah? Otak kamu di simpan di mana? Kamu tahu kalau Mama selalu malu lihat kamu karena Mama ngerasa gagal ngejadiin kamu sukses!!”
Ghendis menggigit bibirnya menahan rasa nyeri di punggungnya. Ia tidak merintih ataupun protes dan membiarkan Mamanya memukulinya sepuasnya.
Setelah Mama memukul Ghendis, Mama terduduk di sofa. Rambutnya yang di tata rapi kini berantakan, wajahnya merah karena emosi. Bi Ema buru-buru datang membawakan minum untuk Mama lalu melirik simpati pada Ghendis yang hanya diam.
“Sebagai Kakak kamu seharusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk adik-adik kamu. Lihat Chitra dan Abi, bagaimana mereka sudah sukses di usia sekarang. Bahkan kemarin Abi minta Mama dan Papa buat carikan rumah untuk investasinya, Chitra juga sudah deal dengan apartemen yang mau di belinya. Lalu kamu apa? Lima tahun kamu nganggur, jajan masih minta ke Papa, kadang dapat kerja part time dari teman. Kamu lihat sepupu kamu yang seusia kamu, mereka sudah menikah dan hidup enak!” bentak Mama.
Ghendis menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak mengatakan apapun. Rasa asin keluar dari lidahnya, karena ia menggigit terlalu keras sehingga bibirnya berdarah. Namun rasa sakit itu tidak lebih menyakitkan dari apa yang dikatakan Ibunya kepadanya.
Melihat tidak ada respon apapun dari putri sulungnya, Mama mengusirnya ke kamar dan Ghendis tanpa menunggu lama berjalan menuju kamar.
Sesampainya di kamar, gadis itu duduk lemas di tengah kasur. Menatap laptop dan pen tabletnya di atas meja belajar serta kertas-kertas yang berserakan.
Ia pun sudah berusaha, berusaha mewujudkan impiannya.
Apakah mereka tidak tahu jika ia harus menelan kecewa karena karyanya ditolak berkali-kali? Ia hanya tidur tiga jam, mengikuti semua kompetisi dan kembali meraih kegagalan, karyanya sempat dijiplak bahkan mendapat kritik pedas dari pembaca.