"San? Sandra ...."
Eh, suara apa itu? Suara lembut yang baru saja masuk ke dalam telinga, memanggil namaku sayup-sayup. Ingin rasanya aku menjawab panggilannya, tapi … sial, apa yang terjadi?
Bibirku terasa kelu, rasanya tak mampu mengucap apapun. Tubuhku lemas, tulang-tulangku tidak bisa digerakkan, serasa badanku remuk dan hancur.
"Sandra!"
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"I-iya!" bisikku lemah.
Tapi, tunggu, tunggu! Apa yang terjadi dengan mataku? Kenapa semuanya … hitam? Pekat gelap gulita? Sepertinya ini masih larut. Mungkin mati lampu? Atau jangan-jangan … aku buta akibat penyiksaan semalam?
Oh, no, no. Please! Tidak! Aku tidak mau cacat. Apa jadinya jika aku lumpuh di umur 23 tahun? Oh, TIDAK …! God please! Don't let bad things happen to me.
"Sandra, ayo bangun!"
Suara itu terngiang lagi, kali ini dibarengi dengan sensasi dingin seperti percikkan air.
“SANDRA!!!”
"IYA!"
Aku terbangun dan terkejut di saat bersamaan. Percayalah, bukan hal yang baik untuk kesehatan. Jantungku seperti melompat keluar dari rongga dada. Nafasku serasa hampir putus, dan jangan tanya ekspresi wajahku seperti apa.
Satu hal yang kutahu, mataku terbuka sangat lebar dan … hei, sepertinya semua masih normal. Yes, aku tidak buta! Kurasa tadi hanya kelopaknya saja yang terlalu berat untuk diangkat. Aku lega, hanya saja rasanya campur aduk, ketika menyadari di mana aku terbangun pagi ini.
"Sandra, kamu ga pulang dari semalam?" tanya Bu Hana. Wanita berusia 50 tahunan yang sudah menjadi atasanku selama 2 bulan terakhir.
Aku ingin sekali menjawab pertanyaannya. Tapi bagaimana mungkin aku sanggup mengatakan yang sejujurnya, ketika hati ini dipenuhi rasa … malu.
Ini sungguh benar-benar memalukan. Asal kalian tahu, semua orang di ruangan ini menatapku seperti alien yang baru saja turun dari UFO. Dan sialnya, aku mengerti mengapa mereka berekspresi demikian.
Mengingat apa yang terjadi semalam, wajahku pagi ini pasti tidak terlihat seperti biasanya. Aku tahu pastinya rambutku mulai menjulur ke sana kemari tanpa aturan yang jelas. Singkatnya, aku sadar jika wajah bangun tidurku pagi ini terlihat ... jelek! Sangat amat jelek!
Duh, bagaimana caranya aku membela diri atas insiden pagi ini? Haruskah kujelaskan apa yang terjadi semalam? Apa mereka akan memaklumi keburukan wajahku pagi ini, jika ….
Pertama, semalam aku menangis. Kedua, aku tak sengaja ketiduran di kantor. Ketiga, mereka memerciki wajahku dengan air.
Aku tahu tata krama 101. Sangat tidak sopan membangunkan seseorang dengan percikan air. Tetapi, aku mengerti mengapa mereka melakukannya. Kurasa mereka sudah mencoba berbagai cara, hanya saja … damn! Kelopak mata sialan ini terlalu ogah untuk terbuka.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Berapapun mahalnya make up waterproof yang kupakai, tidak akan mungkin bisa menyelamatkan wajahku di hadapan rekan-rekanku pagi ini.
"Ah, syukurlah kamu sadar, Sandra,” lanjut Bu Hana yang sepertinya sudah mulai pasrah menunggu kata-kata dari mulutku. "Ya sudah, sekarang sebaiknya kamu cepat cuci muka, rapihkan baju dan penampilanmu. Kita harus segera bersiap. Hari ini, ada meeting penting, kamu ingat?" lanjutnya sambil melirik ke arah jam di tangannya.
Oh Shit, meeting!
Aku segera mengangguk, lalu berlari ke toilet. Kabur sekaligus berniat memperbaiki penampilanku yang super berantakan ini. Dan benar saja, tidak perlu malaikat, cermin pun tahu betapa mengerikan wajahku pagi ini.