Dapatkah kalian bayangkan, seperti apa hebohnya seluruh isi kantor, ketika Sang Primadona datang? Hanya dengan sebuah dering telepon yang mengabari bahwa Bu Anna sudah dekat, maka seketika itu juga menyihir seluruh kantor menjadi riuh.
Mungkin sulit bagiku untuk menceritakan keseluruhan situasinya. Tetapi jika kalian nonton film Devil Wears Prada, kalian pasti ingat adegan ketika Miranda Priestly, karakter Boss yang dimainkan Meryl Streep pertama kali datang ke kantornya.
Yup, persis! Seperti itulah situasinya. Walaupun harus kuakui, apa yang terjadi di kantor ini tidak seratus persen mirip Devil Wears Prada. Hal yang membedakannya hanyalah kami tidak menyembunyikan pakaian lusuh atau sepatu butut yang kami pakai.
Intinya, ini adalah biro arsitek, bukan kantor majalah fashion. Kericuhan kami lebih pada memperbaiki desain, baik gambar maupun maket yang tiba-tiba berhenti ketika mobil mewah itu datang.
Betul sekali, saat mobil mewah berwarna hitam itu terparkir di drop off, semua mata beralih ke arah pintu entrance. Mereka semua memperhatikan sang Madal Devil dengan segudang pesonanya.
Kuakui, dia wanita yang luar biasa. Pakaiannya sederhana namun anggun tak tendingi. Beliau hanya menggunakan dalaman putih yang dibalut dengan vest batik artistik, kacamata hitam super fancy, akan tetapi semua yang ada di badannya tampak sempurna. Membuatku sadar, jika 'asimetri' dalam fashion tidak diaplikasikan hanya dengan warna atau motif berbeda antara sisi kiri dan kanan.
Maaf, maaf, kalimatku pasti membuat kalian bingung. Hal yang ingin kusampaikan hanyalah, tinggi vestnya yang sebelah kanan jauh lebih panjang dari yang sebelah kiri. Dan jika kalian menganggap jika kondisi pakaian itu aneh, maka percayalah, di badan Anna Gunadi, vest batik berwarna biru dongker itu tampak elegan dan berkelas.
Bu Anna berjalan masuk, menunjukkan aura dingin yang ditakuti oleh seisi kantor. Aku cukup terkesima, walapun sesungguhnya ini bukan pertama kali aku melihat sosok luar biasa itu berdiri di hadapanku.
Dulu, ayahku pernah mengajak kami sekeluarga liburan di Bali. Kami menginap di salah satu hotel mewah rancangannya. Kebetulan saja, hari itu aku melihatnya sedang menghabiskan waktu di restaurant sebelah kolam renang. Dan sejak saat itu, aku mulai menjadi fans beratnya.
Aku sangat mengagumi karya-karyanya, bayangkan pada suatu sudut ruang di hotel itu, ada dinding yang begitu tinggi dengan ornamen garis vertikal dan horizontal yang diatur sangat artistik dengan skylight dan pencahayaan buatan yang sangat menggugah hati. Dan tangga putarnya yang melingkar indah itu, sangat memesona. Dan plafon, iya plafonnya yang ....
Oh, Hahaha. Maaf-maaf, sepertinya aku mulai bicara terlalu banyak. Ehm, ya inti dari ceritaku adalah karena karya-karya seorang Anna Gunadi, aku bercita-cita untuk menjadi seorang arsitek.
Dan itulah sebabnya, aku sangat menantikan kejadian hari ini. Hari dimana aku dapat bertemu langsung dengan idolaku. Selama satu bulan bekerja, hari ini adalah pertama kalinya aku melihat Bu Anna dengan kedua mataku sendiri.
Kalian mungkin berpikir, betapa malasnya Bu Anna karena tidak setiap hari berada di kantor. Kurasa jika aku adalah orang terkenal seperti beliau, maka aku tidak punya kewajiban untuk menjadi budak desain.
Jika aku jadi dia, aku akan menggunakan previlege dengan baik. Bergaul dengan orang-orang kelas atas untuk mendapat proyek-proyek strategis. Itu jauh lebih penting daripada menggambar di kantor. Kami menjual jasa, dan yang terpenting dalam bisnis penjualan jasa adalah koneksi dan kepercayaan. Suka tak suka, begitulah cara dunia bekerja.
Dari kejauhan kulihat Bu Hana dan beberapa manager lain mulai menyambutnya dengan membungkuk dan memberikan hormat. Sesungguhnya aku tidak nyaman melihat pemandangan perbudakan modern seperti yang tampak di depan mata.
Menurut prinsipku, tidak ada orang yang pantas menunduk pada orang lain hanya karena strata sosial. Tapi anak bau kencur sepertiku tahu apa? Lebih baik aku mengunci mulut rapat-rapat.
"Selamat datang, Bu," ucap mereka seperti anak SD yang memberi salam pada guru yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Bu Anna menghentikan langkah, membuka kaca mata hitamnya, tersenyum seolah-olah ingin membalas salam mereka dengan sapaan hangat. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiranku, walaupun ternyata salah.
Wanita itu berhenti dan berkata, "Let's hope for the best!". Tanpa berlama-lama ia berjalan masuk ke dalam ruang meeting tanpa menjawab salam dari para hamba-hambanya.
Sepertinya apa yang dikatakan para senior benar. Awalnya aku tidak percaya ketika mendengar cerita jika idolaku adalah atasan yang buruk. Tetapi, melihat semua perlakuannya dengan kedua mataku sendiri, sepertinya aku memang tidak ada harapan untuk bekerja lebih lama di biro arsitek ini.
Bu Anna sudah masuk, dan itu berarti meeting pun dimulai. Presentasi pertama dilakukan oleh salah seorang anggota team lain. Um ... namanya…? Ah, Dion! Benar, kalau tidak salah namanya Dion. Dia masuk ke dalam ruang meeting, dan tak lama kemudian, Dion keluar, kembali ke ruangannya dan mulai mengemasi barang.
Oh, my God! Orang pertama yang mempresentasikan karyanya sudah tidak bekerja di sini lagi, atau bahasa kerennya ‘fired’. Mungkin ceritaku terdengar sedikit lucu, tetapi aku tidak bergurau, kurasa hanya mujizat yang akan menyelamatkanku dari ruangan meeting sore ini.
"Sandra, setelah ini, giliranmu, bersiaplah!" bisik Bu Hana.
"Ok, Ok, Sandra, kamu bisa,” bisikku pada diri sendiri. “Kamu bisa, hee ... hee ... hoo ..., hee ... hee ... hooooo .…"