"Tut, tut, halo?"
"Hi, Hermione, ke mana aja kamu? Sudah seminggu ga nongol di kantor."
"Kak Nia seperti ga tahu aja, aku masih harus jaga bayi gede."
"Loh, bukannya Pak Steven sudah keluar dari rumah sakit?"
"Sudah pulang sejak dua hari yang lalu, tapi tetep aja aku masih harus bantu-bantu di rumahnya. Lagipula Kak Nia pasti sudah hafal kalau laki-laki sakit repotnya seperti apa."
"Ha, ha, ha, paham, paham. Suamiku kalau sakit flu lemesnya sudah seperti orang mau mati.”
“Persis,” sahutku setuju.
“Ya, walaupun begitu, percayalah kegiatan kamu terdengar lebih menyenangkan daripada di kantor. Tahu ga, selama Steven di rumah sakit, Madam Devil sendiri yang langsung turun tangan mengawasi kerjaan kita-kita. Tahu sendiri vibesnya seperti apa."
"Hahaha, sabar ya, Kak.”
Jujur, kalau untuk perkara ini aku cukup bersyukur. Menjauh dari Madam Devil adalah sebuah keberuntungan, walaupun bukan berarti kerjaanku di sini bisa dibilang menyenangkan juga. Menurutku vibes Steven ga jauh beda sama Bu Anna. Sama-sama rese dan menyebalkan.
“Kemarin aku kena semprot, untung ga sampai dipecat. Sial memang, enakan kamu berduaan sama cowo ganteng."
"Ya tapi, sesungguhnya itu bukan jobdesk aku. Aku melamar ke Ruanna untuk jadi arsitek bukan suster perawat," keluhku.
"Makanya, kreatif sedikit. Coba menyelam sekaligus minum air. Jangan cuma jadi asisten, sekalian aja ngelamar jadi pacar Steven. Jadi, jagain dia masuk jadi jobdesk kamu juga, hahaha," kata Kak Nia. Aku tahu dia cuma bercanda, hanya saja ….
"Ih, amit-amit. Jangan sampai!" kataku mengungkapkan kejujuran isi hati.
"Hahaha, jangan begitu! Nanti beneran suka, loh. Aku tahu, dia rese dan nyebelin, tapi, sepertinya dia jinak kalau sama kamu. Eh, udah dulu ya, Madam Devil datang! Aku bisa kena SP kalau ngegosip lama-lama di telepon. Eh, sampai lupa…, data yang kamu minta sudah aku email, coba di cek sudah masuk belum."
"Baiklah, Kak Nia! Thanks ya, nanti aku cek.”
“Ok, Hermione. CU next time."
“CU Kak Nia.” Dan sambungan telepon kami pun terputus.
“Yang benar saja, Steven, jinak? Tidak mungkin!" keluhku dalam hati. Kalau saja kak Nia tahu, bekerja dengan Steven benar-benar menguras emosiku selama satu minggu ini.
Dia memang tidak banyak bicara, tapi sekalinya buka mulut, dia hanya membuatku kesal. Minta ini minta itu, ambilkan ini itu, sesungguhnya aku mau-mau saja menuruti perintahnya, masalahnya waktu tidak bisa berhenti. Deadline pekerjaanku tetap jalan terus.
Bayangkan saja harus konsen mendesain sekaligus mengurus semua keperluannya, bahkan menyediakan obat-obatan yang harus diminumnya. Aku tidak tahu ini kebiasaan semua lelaki atau cuma makhluk itu saja. Jangankan ingat waktu, dia bahkan tidak tahu obat apa saja yang harus diminum jika tidak disodorkan di depan muka.
Sekarang paham, kenapa seminggu terakhir ini kepalaku terasa mau pecah? Mendesain bangunan sambil menjaga bayi gede. Untungnya pekerjaanku selesai tepat waktu, dan hari ini adalah hari yang telah kami sepakati. Steven akan memeriksa desainku, dan sejujurnya itu membuatku sedikit nervous.
Kira-kira, bagaimana kalau hari ini suasana hatinya sedang buruk? Atau … bagaimana jika dia tidak suka dengan hasil akhirnya? Apa yang harus kulakukan?
Oh, ayolah Sandra! Kenapa kamu jadi kehilangan kepercayaan diri? Kamu bisa, kamu pasti bisa! Aku segera menarik nafas, mengumpulkan banyak keberanian untuk berjalan menuju kantor pribadinya.
Aku segera mengetuk pintu ruangannya perlahan, membuka pintu sambil membawa semua gambar desain yang telah diprint ke lembar A3.