Perasaanku campur aduk.
Percayalah, aku sudah berusaha duduk di kursi dengan anggun dan tenang, seperti putri Diana ditengah perjamuan bangsawan kerajaan Inggris. Tetapi, dengan perasaan seperti ini, bukan image Lady Diana yang kuperlihatkan, tapi Putri Die Ana. Die = mati, Ana = saya dalam bahasa arab, kesimpulannya, saya seperti orang yang akan mati hari ini.
Ekspresi muka kacau walaupun make up sudah setebal cat tembok, tangan dingin seperti belum makan 2 hari, dan kaki yang terus bergoyang seperti gempa bumi, serta cemas seperti jantung mau copot. Aku berharap tidak akan terjadi sesuatu yang buruk hari ini.
Sejak sampai di gedung Audi Indonesia, kami segera disambut oleh beberapa orang staff. Maaf, kuralat, bukan kami, lebih tepatnya Anna Gunadi yang mereka sambut. Jika tidak ada Bu Anna, maka CEO dan petinggi-petinggi Audi Indonesia tidak akan menunggu di lobby hanya untuk menjabat tangannya.
Se-spesial itukah Madam Devil? Yes, Se-spesial itu, hingga membuatku dan Steven harus menunggu di dalam ruang rapat untuk mempersiapkan peralatan yang akan digunakan. Intinya, kami hanya seonggok debu di kolong meja yang tidak terlihat bila dibandingkan dengan pesona cahaya Sang Primadona Anna Gunadi.
"Kruuuuuuu ... kruuuuuu .…”
"Lapar?" tanya Steven mendengar suara dari perutku yang selalu mempermalukan pemiliknya ini.
"T-tidak, Pak," kataku sambil tersenyum, sedikit terpaksa tentunya.
"Terus? Kenapa perutnya bunyi?"
“Ya, ga apa-apa dong. Masa perut aja ga boleh bunyi? Memang apa hak Bapak bisa melarang-larang perutku ini supaya ga bunyi?" Omelan yang hanya ada di otak dan untungnya tidak sampai ke mulut.
"Ga apa-apa, Pak," jawabku sambil menyembunyikan rasa malu. Sial, mana perutku bunyi sekali lagi.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Saya kira, kamu lapar," jawab Steven dengan nada jahilnya. Sepertinya Steven punya hobby baru akhir-akhir ini. Mengejek, membercandai, atau entahlah ... ia sering memperolok dan menggodaku dengan kejahilannya.
"Tidak, Pak!" jawabku sekali lagi dengan sebal. Siapa yang tidak kesal jika ditanya hal seperti itu berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama.
"Ya kalau ga lapar bilang saja baik-baik, ga perlu keras begitu nada bicaranya!"
See? Kalian lihat? Dia memang menyebalkan, dan selalu cari masalah denganku. Entah apa yang ada di dalam isi kelapa, eh, kepala orang menyebalkan ini, otak atau santan.
"Maaf, Pak. Saya tidak berniat tidak sopan, sekali lagi, maaf," kataku pasrah. Hari ini aku menyerah. Aku tidak berminat cari masalah dengan Steven. Aku harus fokus dengan masalahku sendiri. Desainku yang akan dilihat orang-orang besar, dan itu membuatku gusar.
"Nih," kata Steven sambil melemparkan sebungkus kue kering ke pangkuanku.
Jujur saja, aku terkejut ketika menerima camilan itu. Apa ini tidak salah? Steven? Si Mr. Boss galak menyebalkan itu? Dia memberikan aku sesuatu? Kuakui dia pernah mentraktirku ice coffee, tetapi, itu juga sebagai kompensasi karena hampir membuatku babak belur digebukin preman. Apakah dia sedang merencanakan sesuatu?
"Ehm, jangan mikir macem-macem!" ucapnya seperti mengerti arti dari tatapanku yang kebingungan. "Saya cuma ga mau perut kamu bunyi di depan CEO perusahaan besar, itu akan sangat memalukan untuk Ruanna. Jadi, cepat makan!" lanjutnya sambil menyembunyikan wajahnya yang mulai berubah menjadi sedikit kemerahan.
Dasar makhluk aneh, sebentar dia menyebalkan, sebentar dia baik. Aku tidak tahu, kenapa ia begitu misterius dan sulit ditebak. Kadang ia dingin, kadang dia hangat. Aku tidak tahu, mana wajah yang sebenarnya.
Adakah orang yang bisa hidup dalam dua dunia seperti Steven? Yang kutahu, hewan saja ada yang berdarah dingin dan berdarah panas, tidak ada yang hari ini berdarah dingin lalu besoknya berubah lagi.