Beda 2 tahun yang lalu, beda hari ini.
Lelaki itu sudah tidak lagi berambut panjang dan terlihat berantakan. Kini wajahnya terlihat sangat dewasa dan rapi dengan setelan suit yang mahal dan memesona.
Satu hal yang tidak berubah darinya, hanyalah ekspresi wajahnya. Terutama raut terkejutnya ketika melihatku di sini, masih sama dengan terakhir kali aku bertemu dengannya. Ya, begitulah, matanya melihatku seperti menatap hantu gentayangan.
Sedangkan aku? Sejak kutemui dia di cafe dengan wanita lain, aku memilih untuk menghindarinya. Aku tidak ingin melihat sosoknya lagi. Bukan karena aku takut, hanya saja aku tidak ingin mengingat luka yang dia torehkan dalam hati.
Aku tidak mengingkari, salah satu alasan kepergianku ke Jakarta adalah untuk menghindari pertemuan dengannya. Jika aku bekerja di biro arsitek di Bandung, maka peluang pertemuan kami akan menjadi lebih besar. Tetapi sialnya, sejauh apapun aku berlari menghindar, nasib tetap mempertemukan kami berdua. Atau jangan-jangan seharusnya aku pergi ke tempat yang lebih jauh.
"Hai, Sandra, apa kabar?" kata Tyo dengan wajah sedikit pucat.
"Luar biasa!” jawabku penuh percaya diri. “Luar biasa baik! Tanpa orang sepertimu, hidupku sempurna," lanjutku dengan senyuman paling indah seraya menjabat tangannya.
Dan … tiba-tiba saja suasana berubah menjadi canggung. Ekspresinya mengguratkan beragam perasaan bersalah. Seolah-olah dia punya dosa besar padaku. Oh syukurlah, jika manusia ini masih sadar jika dia punya dosa padaku.
"Sandra, aku benar-benar minta maaf. A-aku ...."
Sebelum Tyo sempat menyelesaikan kata-katanya, Steven menarik tanganku dan pergi menjauh dari lelaki itu. Kebetulan yang pas. Hari ini aku harus mengucapkan banyak berterima kasih pada bosku itu.
Untunglah, dia membawaku pergi sebelum keanehan antara aku dan Tyo berlangsung lebih lama lagi. Lebih tepatnya, aku bersyukur Steven menarikku sebelum aku mencakar, menonjok muka pria menyebalkan itu.
"Are you nuts?" bisik Mr. Boss dengan kesal. Hampir setiap hari aku melihat Steven jengkel bahkan marah, tetapi aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Suaranya tidak keras, nada bicaranya pun tidak tinggi, tetapi aku tahu, ia benar-benar marah padaku, dan tentu saja kecewa.
"Maaf, Pak. Saya tahu saya lancang. Tapi, kumohon, tolong izinkan saya presentasi. Saya tidak peduli jika Bapak akan memecat saya hari ini juga. Saya tidak peduli jika saya tidak bisa menjadi arsitek lagi. Tetapi, saya tidak bisa mengalah. Saya tidak bisa kalah dari orang itu."
"Siapa dia?" tanya Steven sambil melirik ke arah mantanku.
Aku berpikir sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan bajingan itu di hadapan Steven. Aku tidak ingin mengungkapkan kata-kata kasar di depan atasanku, hanya saja, aku tidak punya kata lain untuk menggambarkan Tyo dengan kata-kata lain.
"Hanya bajingan yang sudah kulupakan!" kataku kesal.
"Jangan bohong!" jawab Steven sambil menatapku dengan bola matanya yang tajam. "Kamu sadar? Kamu rela melupakan mimpi kamu untuk jadi seorang arsitek hanya karena dia. Dia pasti masa lalu yang spesial, bukan?"
Aku tidak bisa berkata-kata. Dugaan Steven tepat! Aku sangat ingin menyanggah kata-kata 'masa lalu yang spesial', tetapi aku tidak bisa. Karena kenyataannya, dia memang masa lalu yang spesial untukku.
Kuakui aku memang sudah bisa melupakan kehadirannya, tetapi tidak dengan rasa luka dan rasa sakit yang digoreskannya dalam hatiku. Goresan yang membuatku sedikit trauma dengan pria, bahkan membuatku tidak percaya dengan cinta.
Aku tidak tahu, apa yang ada di kepala Steven, aku juga tidak tahu bagaimana raut wajahku yang terlihat di matanya, tetapi apapun juga aku akan menghargai keputusannya.
"Baiklah!" jawab Steven sambil menarik nafas panjang. "Saya izinkan kamu presentasi siang ini."
"B-baiklah?" Aku tidak mengerti, mengapa Steven memperbolehkanku melakukan hal gila yang mungkin bisa mencoreng namanya bahkan nama Ruanna untuk selamanya. Akan tetapi, di saat yang sama, aku juga tidak ingin mengetahui apa alasannya. Aku hanya ingin mengalahkan Tyo. Pria yang memanfaatkan ketulusanku hanya untuk selembar ijazah. Dan kini, aku punya kesempatan untuk meminta gelarnya kembali.
"Steven, sudah selesai?" tanya Bu Anna dengan suara seraknya yang menyeramkan.