Hei, yo, it's me! Sandra. Sandra Bayu Hutama. Masih ingat denganku?
Yes, setelah presentasi tak terduga yang berakhir dengan makan malam dan pengajuan perjanjian gila dari Mr. Boss, akhirnya aku kembali lagi ke kantor. Hari-hari normal dimana tidak drama seperti kemarin. Hari yang tenang tanpa ancaman akan dipecat, tanpa presentasi mendebarkan di depan orang-orang penting, tanpa mantan, ataupun kejadian-kejadian tidak terduga lainnya.
Intinya, aku menikmati hari dimana pergi kerja dengan santai tanpa harus diburu-buru deadline. Kuakui, untuk seorang Sandra, kenikmatan hidup cukup dari hal-hal sederhana saja.
Aku datang ke kantor, langsung absen, menyapa beberapa rekan, lalu segera melangkah ke meja cublicleku di lantai 2. Harus diakui, setelah lama tidak berada di kantor, aku merasa suasana di sini tampak berbeda. Sepi bahkan hampir tidak ada orang.
Eh, apa yang terjadi di sini? Aku segera mengintip kalender di atas meja. Apa aku salah masuk kantor? Tapi hari ini bukan tanggal merah, bukan juga event penting perusahaan.
Sambil menunggu, aku mengirim pesan pada Steven untuk menanyakan jobdesk hari ini. Ah, kalian pasti berpikir jika aku akan mulai mengerjakan proyek showroom Audi hari ini, bukan? Aku juga sudah tidak sabar untuk mengerjakannya, akan tetapi proyek itu sedang dibicarakan oleh pihak internal perusahaan. Mereka akan memberi feedback, entah menambah sesuatu atau mengurangi sesuatu, dan lain sebagainya.
Intinya, selama kontrak kerja kami belum selesai diperbaiki, dan client belum memberikan timbal balik mengenai designku kemarin, maka tidak ada yang bisa kulakukan, selain memikirkan ide desain lain untuk membuat bangunannya semakin cetar. Oleh sebab itu, hari ini, aku masih punya waktu untuk membantu mengerjakan proyek-proyek lain.
Aku mulai menyalakan komputer, membuka game untuk mengusir kebosanan. Hahaha, tolong jangan laporkan pada Madam Devil, please! Kuakui pekerjaan di sini menumpuk, tapi sedikit waktu gabut kurasa tidak masalah.
Tanpa terasa, waktu berjalan dengan cepat. Satu permainan solitaire, dua, hingga berpuluh-puluh game kumenangkan, tapi ruangan ini tetap saja sepi. Tidak ada satu orang pun yang datang di memenuhi ruangan ini. Hanya beberapa orang drafter, tetapi tidak ada pegawai lain. Tidak Mas Angga, Bro John, Pak Alex sekalipun. Apa mereka sedang demo mogok kerja untuk minta kenaikan gaji?
T-tunggu, jika pikiranku benar, kenapa mereka tidak mengajakku juga? Aku ingin turut serta! Aku yang akan berteriak paling keras agar Madam Devil menaikkan gaji, uang lembur, uang transport, serta tambahan uang makan jika lembur sampai malam.
Kulihat lagi email, dan masih tidak ada jawaban apapun dari Mr. Boss. Aku tahu Steven bukan tipe super fast respond yang membalas email secepat mungkin setelah membacanya. Tetapi, dia juga tidak pernah selambat ini. Atau jangan-jangan … apa dia kesal karena aku menolak ide gilanya semalam?
Iya aku menolaknya. Kumohon, jangan tanyakan kenapa aku menolaknya. Lagipula perempuan mana yang akan menerima permintaan bodoh seperti itu? Dan lelaki macam apa pula yang bisa meminta hal aneh seperti si gila Steven? Mengapa aku harus membuat Mr. Boss jatuh cinta padaku? Untuk sebuah alasan untuk mengeluarkannya dari neraka? Nuts, so nuts.
Jujur, awalnya aku sedikit ragu untuk menolaknya. Jika kalian melihat wajah Steven saat mengatakan tentang 'alasan' yang dicarinya. Alasan untuk mengeluarkannya dari neraka. Bibirku terdiam, seolah tak bisa mengatakan apa-apa.
Garis wajahnya berubah seketika. Dari Mr. Boss jahil yang menyebalkan, menjadi seorang pria yang terlihat begitu kesepian. Aku ingin membantunya, aku sungguh ingin membantunya. Aku bukan orang tak berperasaan, yang akan mengacuhkan orang yang meminta bantuanku, tapi, untuk masalah ini aku tetap pada pendirianku. Aku menolaknya.
Entahlah, tapi menurut pemikiranku yang sederhana ini, aku tidak perlu melakukan hal semacam itu. Jika aku ingin membantunya, mengeluarkannya dari neraka atau apapun penderitaannya, sepertinya aku tidak perlu membuatnya jatuh cinta padaku.
Orang tuaku tidak pernah mengajarkan pamrih. Aku rela melakukan hal baik tanpa imbalan apa pun. Dia tidak perlu jatuh cinta padaku. Dan jika Steven membutuhkanku untuk keluar dari nerakanya, jika aku sungguh sanggup membantunya, maka aku akan melakukannya secara sukarela.
Ya, mungkin itulah mengapa Steven mengatai aku ‘naif’ pada saat aku mengungkapkan alasanku. Dia tidak salah, kuakui aku memang naif. Tapi jika dipikir-pikir, aku tidak perlu membayar matahari untuk menerangi hari-hariku, bukan? Jadi, selama cahaya sinar matahari masih dapat kunikmati gratis, maka kenapa juga aku harus perhitungan dengan semua hal?
Ah, satu hal lagi yang pastinya membuat kalian penasaran. Apa kalian ingin tahu berapa jumlah bonus yang diberikan Steven padaku semalam? Aku langsung membukanya setelah sampai di kamar kost. Dan hasilnya … jeng, jeng, jeng, drum roll please .... menyedihkan!
Bonus yang diberikan Steven hanya sejumlah biaya DP rumah sakit yang kubayar untuknya. Tidak kurang, tidak lebih. Aku curiga, apa dia memang ingin memberikan bonus, atau sebenarnya itu hanya alasannya untuk mengembalikan biaya rumah sakit yang kukeluarkan untuknya? Tapi ya sudahlah, apapun alasannya, aku tetap berterima kasih. Kuanggap, semuanya lunas.
"Hermione ... apa yang terjadi kemarin?" tanya Kak Nia yang tiba-tiba nongol di depan meja cublicleku.
Jujur, aku ingin sekali bercerita padanya. Dari A to Z, semua dengan detail. Kemarin adalah hari terindah dari hidupku. Aku dapat proyek besar, aku bisa membalas dendam, intinya, kemarin adalah hari yang luar biasa.
Tetapi, apa yang dikatakan Mr. Boss sedikit membuatku cemas. Ketika kamu punya prestasi, tidak semua orang akan menyukaimu. Apa Kak Nia dan teman-teman akan memperlakukanku berbeda dari sebelumnya? Apakah hanya karena kejadian kemarin, lantas sikap semua senior akan berubah? Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan.