Padahal pagi masih panjang. Orang-orang masih berselimut mimpi. Ayam juga belum berkokok. Tapi gadis muda sepertiku malah sudah harus berseragam aneh dan berlenggak-lenggok sambil menyanyikan yel-yel yang tidak kalah aneh. Kami bertujuh belum tidur sejak semalam. Banyak sekali koreksi properti yang kemarin kami dapat dari kakak pembimbing. Dan kami terpaksa lembur untuk memperbaiki itu semua. Katanya beberapa name tag dari anggota kami ada yang belum sempurna. Mulai dari diameter, warna, sampai dengan ketebalan. Panjang tali gantungnya juga tidak sesuai instruksi. Warna tali sepatu juga dipermasalahkan. Padahal dalam surat pengumuman hanya tertulis “hijau untuk laki-laki dan merah untuk perempuan”. Tapi ternyata hijaunya harus hijau army. Merahnya pun merah muda. Kenapa harus ditulis merah? Kenapa bukan ditulis pink saja? Jajanan dan bekal yang harus dibawa juga sangat penuh dengan teka-teki dan merepotkan. Kami jadi harus membuang-buang uang dan waktu hanya demi meminimalisir kesalahan dan menjauhi hukuman. Kami juga terpaksa harus ber-basecamp—untuk memastikan kesempurnaan properti satu sama lain. Karena jika ada satu saja yang salah; semua pasti kena.
“Nah ini dia si Asma”
“Maaf kak, nama saya Aiza Hamnah Shirin. Bukan Asma. Kakak bisa panggil saya Aiza, atau Hamnah, atau....”
“Heh Asma, siapa yang suruh kamu ngomong?!”
“Maaf kak”
“Mana botol minummu?”
“Ini kak?”
“Kenapa masih satu liter full? Gak baca pengumuman?”
“....” Aku terdiam karena sadar telah melupakan satu hal.
“Ditanya kok malah diam?! Sekarang saya kasih kamu waktu 30 detik buat minum air ini sampai hanya tersisa sesuai pengumuman, 650 ml!”
“Siap kak”
“Lho, siapa yang suruh kamu duduk?”
“Maaf kak, kan tadi kakak suruh saya buat minum”
“Ya, saya suruh kamu minum, bukan duduk”
“Maaf kak, tapi setahu saya salah satu adab minum dalam islam adalah duduk”
“Jangan kalian minum sambil berdiri, apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan” (HR. Muslim)