Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #3

Paket dari Tuhan

Sinar fajar kali ini terasa lebih bersahabat. Diiringi semerbak aroma embun pagi. Dan kuncup bunga yang mulai merekah. Benar-benar awal hari yang damai. Untuk kali pertama aku bisa menikmati sarapan pagiku tanpa harus diburu waktu. Ibu kos memberiku sepiring gudeg. Bu Wening, ibu kosku itu sepertinya tahu kalau aku baru saja melewati dua hari yang cukup berat—makanya beliau sengaja menyiapkan sarapan ini untukku. Orang jawa memang ramah-ramah.

Acara kampus hari ini akan dimulai pukul tiga sore. Berbeda dengan dua hari yang lalu. Kali ini kami akan dihibur oleh serangkaian acara penutupan. Tapi sebelum itu, kami akan mendengarkan lebih dulu pengumuman tentang siapa saja di antara peserta orientasi tahun ini yang tidak lulus. Dan entah kenapa aku tidak deg-degan sedikit pun. Bahkan dari awal aku sama sekali tidak merasa takut pada gertakan kakak tingkat. Mungkin karena aku sudah mengerti kalau serangkaian kegiatan orientasi ini hanyalah sarana mereka untuk menguji mental kami. Jadi, mereka tidak akan mungkin benar-benar menyakiti kami. Meskipun pada akhirnya tetap saja ada oknum yang bersembunyi di balik almamater itu—hanya untuk bersenang-senang—membully adik tingkat barunya.

“Huh lagi-lagi kakak itu terlintas dalam benakku. Seperti lalat saja. Dia itu ganggu mood makanku banget sih”

***

Senja sebentar lagi datang. Aku mulai melambaikan tangan pada seragam hitam putih dan belasan pita warna-warni yang berjejer itu. Bye juga sepatu hitam bertali pink. Sore ini aku akan mendatangi kampus dengan style yang lebih manusiawi. Tanpa name tag besar yang melingkar di leher. Tanpa karung terigu yang disulap paksa menjadi tas selempang. Dan aku tidak perlu lagi merasa resah untuk memakai celana—hanya karena takut diminta mengenakan bawahan mukena lagi. Sore ini akan menjadi sore yang baik untuk hati dan pikiranku. Karena semua beban dan tekanan itu sekarang sudah berlalu.

“Woy Hamnah, sini sini”

“Zaid... hahaha”

“Ngapain diem aja di depan pagar?”

“Hahaha nyari kamu sama yang lain”

“Kayaknya udah pada di dalam audit nah”

“Ohh Zaid telat juga ya berarti?”

“Enggak, aku udah dateng dari tadi, udah sempet ketemu sama yang lain juga”

“Lho, terus kenapa gak masuk audit?”

“Nunggu Hamnah”

“Kenapa?”

“Takut kamu dijahatin kakak aneh itu lagi”

“Hahaha padahal dari kemarin aku dibully juga Zaid diem aja”

“Iya, habis kemarin seru sih, jadi malah keasikan nonton”

“Jahaaaat”

Di antara teman-temanku yang lain; Zaid memang yang paling friendly. Dia sering membantuku selama dua hari kemarin. Ketika propertinya sudah selesai lebih dulu dariku—dia pasti langsung beralih membantuku. Dan setiap kali aku mendapat perlakuan yang kurang baik dari kakak itu; Zaid adalah orang pertama yang menghiburku. Dia membuat semua hukumanku terasa hanya seperti lawakan anak SD—yang karena itu aku jadi lebih ringan untuk melaluinya. Teman-teman bilang; Zaid suka padaku. Tapi aku tidak ambil pusing. Zaid pasti melakukannya karena dia ‘orang jawa’. Kata papa ‘orang jawa’ itu memang baik dan ramah. Itulah salah satu alasan papa membolehkanku merantau sejauh ini dari rumah. Karena beliau percaya akan ada orang-orang baik yang mengelilingiku di sini. Jadi mungkin, Zaid adalah salah satu perwujudan dari doa papa itu.

***

Hebat sekali pertunjukan sore ini. Semua pengisi acara berhasil menyita perhatian kami. Menggugah tawa kami. Membuat kami selalu tertarik untuk memberi feedback dari setiap pertanyaan dan permintaan mereka. Gemerlap lampu yang bergerak ke sana-sini juga semakin memeriahkan rundown acara. Aku menikmatinya sesekali. Sesekali lainnya aku merasa malu. Terutama ketika beberapa perempuan berpenampilan seksi—menguasai panggung dengan gerakan tubuh yang cukup erotis. Melihat mereka bergerak energik mengikuti alunan musik itu—membuatku jadi merasa dipertontonkan laki-laki juga. Padahal bukan aku yang berada di atas sana. Mungkin perasaan itu ada karena kami memiliki lekuk tubuh yang serupa.

“Dan sekarang, mari kita sambut himpunan mahasiswa islam”

Seketika euforia disco itu berubah jadi tenang. Beat musik yang semula berdentum cepat—kini mulai mengalun syahdu. Lampu utama auditorium mendadak padam. Hanya ada seutas sinar gun light yang menyorot ke arah pintu masuk. Cahaya itu membuat hampir semua dari kami berbalik badan dan memperhatikan belakang. Aku tidak tahu energi apa yang sedang mengalir dalam darahku. Tapi badanku mendadak terasa hangat. Kehangatan yang bersahabat dengan denyut nadi. Menenangkan. Damai dan bersahaja.

Lihat selengkapnya