Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #4

Menuju Hilir

Akhirnya momen yang dinanti pun tiba. Hari-hari penantianku selama ini penuh dengan keajaiban baru yang sulit kumaknai. Sejak kejadian di atas panggung sore itu; entah kenapa banyak sekali teman wanita yang menggandrungi kehidupanku. Aku sampai lupa caranya bernapas. Mereka memburuku dengan segudang pertanyaan. Mulai dari sejarah perjalananku menjadi seorang mualaf—sampai dengan caraku menarik perhatian Kak Hamzah. Dan pertanyaan yang paling terakhir itulah yang hampir kali membuatku mengembang seperti ikan buntal. Padahal sejak sore itu, aku sama sekali tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Setiap kali kami tidak sengaja bertemu, aku langsung menjauh seribu langkah—bahkan sebelum senyumnya mengembang ke arahku.

“Naaaah, mau ke mana?”

“Eh Lulu, mau ke masjid nih” Aku berusaha menyembunyikan ketidaknyamanku.

“Kamu mau ikut oprec HIMA Islam ya nah?”

“Iya lu, kamu juga ya?”

“Iyaaaalah, perempuan mana yang gak nunggu-nunggu oprec sore ini nah”

“Hahaha”

“Nanti jangan jauh-jauh dari aku ya nah”

“Kenapa? Tumben kamu pemalu”

“Bukan gitu, kupikir Kak Hamzah nanti pasti nyapa kamukan? Jadi biar aku kecipratan disapa juga nah”

“Ya ampun luuu luuu.. Udah mau sebulan kuliah masih aja itu topiknya”

Yap. Kurang lebih seperti itulah hari-hari yang kujalani sebulan terakhir ini. Ada belasan ‘Lulu’ yang hampir setiap saat meramaikan waktu senggangku. Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan mereka. Aku justru senang. Apalagi ketika mereka mulai bertanya tentang islam kepadaku. Itu adalah momen dimana aku merasa jadi orang yang berguna. Setiap kali mereka bertanya tentang islam; ada rasa candu di dalam hatiku. Rasa yang semakin hari semakin membuatku tidak sabar untuk bergabung dengan HIMA Islam. Aku ingin segera memperkaya wawasanku tentang agama yang unik ini. Dan mengambil porsi sebesar-besarnya terhadap syiar islam.

Walau begitu, tetap ada saja sebagian besar di antara mereka yang mendekat hanya demi mencari informasi tentang kedekatanku dengan Kak Hamzah. Ada juga yang sengaja mengekor padaku hanya karena ingin memanfaatkan situasi apabila sewaktu-waktu aku bertemu dengan Kak Hamzah. Tapi sebenarnya ada hal lain di samping itu semua—yang menggugah rasa penasaranku; Aku penasaran pada apa yang mereka pikirkan tentangku. Aku penasaran kenapa mereka justru bertanya tentang agama kelahirannya itu—kepadaku. Aku penasaran apa yang membuat mereka selama ini tidak mendalami islam sebagaimana yang sedang aku lakukan. Itu semua terasa aneh bagiku. Aku senang ketika mereka bertanya untuk saling menguatkan. Tapi aku sedih ketika pertanyaan mereka justru jadi mengaburkan ajaran islam itu sendiri dari keyakinanku.

Yang paling sederhana namun sering terjadi adalah ketika mereka mendapatiku membaca al-qur’an di sudut ruang kelas. Mereka bertanya kenapa aku harus membawa al-qur’an ke kampus sementara aplikasi al-qur’an itu sendiri sudah bisa kita donwload di gadget. Mereka bilang islam sedang dalam fitnah yang cukup besar. Kalau kita tidak pandai menyembunyikan identitas; kita akan sulit untuk membaur. Dan akibatnya, kita akan semakin terlihat asing dan diklaim intoleran. Aku tidak paham hubungan dari ‘intoleran’ dengan ‘membaca al-qur’an’. Tapi mereka langsung memberiku penjelasan yang sama sekali tidak jelas. Katanya; itu karena kita telah memanfaatkan ruang umum untuk beribadah.

“Bukankah senyum itu ibadah?”

“Iya”

“Kenapa kamu berkerudung?”

“Karena ini kewajiban”

“Untuk apa dosen mengucapkan salam begitu masuk kelas?”

“Kurasa karena itu sudah menjadi hal yang biasa”

“Benar. Senyummu, kerudungmu, salammu, semua itu adalah salah tiga dari bentuk ibadah yang sudah menjamak. Sehingga terlihat lumrah untuk diimplementasikan—bahkan ketika di tempat umum dan di hadapan orang non muslim sekalipun. Sementara tentang apa yang aku lakukan sekarang; kenapa bisa terlihat asing? Ya mungkin karena inilah refleksi dari kesenggangan kita terhadap al-qur’an. Jadi menurutku; yang perlu kita lakukan bukanlah menyembunyikan al-qur’an ini. Yang perlu kita lakukan justru membumikan al-qur’an ini sehingga aku, kamu, dan semua orang tidak lagi merasa heran ketika melihat orang lain membaca al-qur’an di tempat umum—sama seperti mereka tidak merasa heran ketika melihat kita mengenakan kerudung di tengah keheterogenan ini.”

Aku tahu konsekuensi dari hijrah memang tidak mudah. Tapi menjadi semakin sulit ketika rintangan terbesar itu justru datang dari dalam. Mungkin bagi mereka dialog singkat itu hanya seperti angin lalu. Tidak ada makna besar yang perlu dicerna hati dari negosiasi spiritual itu. Toh hanya percakapan antar teman. Tapi nyatanya tidak begitu bagiku. Sekecil apapun perbedaan mereka dengan hal-hal yang pernah kupelajari; itu pasti akan menjadi pertimbangan besar untukku. Ditambah lagi aku memang belum lama memeluk agama ini. Terlalu egois ketika akhirnya akulah yang justru mencemarinya. Tapi entah kenapa terlalu naif juga rasanya—untuk bisa membenarkan semua masukan dari mereka.

Situasi ini seperti menggambarkan keletihan muhajirin tanpa anshar. Bukankah perjalanan itu jadi terasa semakin panjang dan melelahkan? Rasanya energiku sudah hampir terkuras habis karena bertahan seorang diri di tengah gersangnya gurun keimanan. Sebagian besar dari hatiku masih mengatakan bahwa bukan mereka orangnya. Bukan mereka segolongan anshar yang harus kujadikan tolak ukur kebenaran—atas semua wawasanku. Dan sore ini, harapan itu mungkin akan segera menemukan jawabannya.

***

“Hamnaaaah, assalamu’alaikum, ayo masuk, masuk” Seseorang menyambutku dari serambi masjid.

“Wa’alikumussalam, terima kasih kak”

Lihat selengkapnya