Ternyata persaudaraan itu bukan hanya tentang ikatan darah, atau pun ikatan pernikahan. Ada makna yang lebih luas dari keduanya. Tapi karena terlalu luas; makna itu tidak bisa dideskripsikan dalam bentuk kalimat. Sebab ia menyangkut ‘alasan’ untuk banyak hal—yang nantinya akan mengikat kebersamaan manusia pada satu frekuensi keharmonisan. Alasan untuk berjuang dan bertahan bersama. Alasan untuk tertawa dan terluka bersama. Bahkan alasan untuk menangisi dan mementingkan hal yang sama.
Itulah yang aku rasakan sejak kali pertama bertegur sapa dengan kakak-kakak HIMA Islam. Dan semakin terasa jelas ketika air mataku ikut berjatuhan—menyambut isak tangis mereka. Aku tahu sore itu semuanya terlihat seperti drama. Bahkan setelah kejadian sore itu; tidak sedikit dari penggemar Kak Hamzah yang mulai mencibir kami—di belakang. Mereka bilang Kak Hamzah berlebihan. Mereka bilang Kak Hamzah hanya memanfaatkan kedudukannya untuk memodusiku. Mereka bilang HIMA Islam itu hanya kedok untuk menutupi sisi manusiawinya remaja—supaya tetap terlihat suci.
Sebenarnya separuh hatiku amat sangat merasa kesal ketika harus mendengar gosip miring seperti itu. Tapi walau begitu, separuh hatiku yang lainnya masih berusaha untuk menganggap ‘wajar’ perbuatan jahat mereka. Wajar, pasti karena kemarin mereka tidak mendengar tentang apa yang dibisikkan Kak Rumaisha kepadaku. Wajar, mungkin karena sejak awal niat mereka untuk mengikuti oprec itu sudah salah. Jadi wajar, jika akhirnya mereka kecewa—karena mendapati orang yang diperhatikannya—justru memberi perhatian kepada orang lain.
Dari semua ini aku belajar satu hal baru, bahwa ternyata kesalahpahaman itu bukan hanya timbul akibat kekeliruan dalam menyampaikan komunikasi—melainkan juga kekeliruan dalam memasang niat di hati. Dan ketika kesalahpahaman itu terjadi karena bentuk kekeliruan yang kedua; maka berlakulah nasihat Ali bin Abi Thalib;
“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu”
Benar. Lagipula aku tidak pernah mendengar langsung tentang apa yang mereka katakan itu. Sebagian besar justru hanya kudengar dari teman-teman dekatku di kelas. Itu pun entah apakah mereka hanya menyampaikan ‘apa yang mereka dengar’—atau sebenarnya mereka adalah ‘bagian dari orang-orang yang ingin menyampaikan itu’. Tapi tidak ada gunanya mendebat keadaan. Apalagi berusaha membela diri di tengah kekacauan persepsi. Jadi memang untuk saat ini lebih baik melangkah mundur dan menyusun strategi.
***
“Zaid, mau kemana?”
“Eh, mau ke kelas Hamnah. Kamu teman kelasnya Hamnahkan?”
“Iya..”
“Oke bye”
“Eh tunggu Za, kayaknya kamu gak usah ke kelas kita deh”
“Kenapa?”
“Kamu emang gak denger gosip ya? Hamnah itu pacarnya Kak Hamzah”
“Kok bisa?”
“Bukannya kamu juga ada di masjid ya waktu itu?”
“Oalah, soal dua hari yang lalu?”
“Iya. Sabar ya Za, mentang-mentang cantik dan pinter; Hamnah malah sengaja manfaatin status mualafnya gitu buat dapetin respect dan perhatian dari ketua HIMA Islam”
Aku sedang duduk di kursi taman ketika dialog itu akhirnya terdengar langsung di telingaku. Mood bacaku seketika lebur bersama gemuruh kekesalan—yang entah kenapa bisa membuat degup jantungku jadi tidak beraturan. Sepertinya aku memang lebih baik bersembunyi di tengah keramaian—daripada quality time sendirian seperti ini. Kan tidak mungkin mereka akan membicaranku ketika aku sedang ada di tengah-tengah mereka. Tapi baru saja aku ingin bangkit pergi; tiba-tiba ada suara yang kukenal—menyusup masuk di tengah-tengah pembicaraan mereka. Kali ini aku sengaja berdiam diri untuk menguping.
“Kok bisa ya ada berita sereceh itu kesebar luas? Bahkan sampai anak-anak angkatanku aja dengar lho. Haha” Kak Hamzah seketika menyela.
“Eh, maaf kak”
“Lho, tadi ngomel-ngomel, kok sekarang malah minta maaf? Nih mumpung ada orangnya, diklarifikasi langsung aja kali biar enak”
“Apa sih Za?!”
“Hei dek, aku setuju kalau kamu bilang Hamnah itu cantik dan pinter. Tapi aku gak setuju kalau kamu bilang kita pacaran. Pun kalau memang kecantikan dan kepinterannya itu beneran bikin aku suka sama dia; aku pasti bakal cepet-cepet nikahin dia kok. Gak usah pakai pacaran segala hehe”
“Whaaaaat?! Jangan asal serobot gitu dong kak. Ngantri!”
“Hei Zaid.. Cinta itu bukan penantian—tapi perjuangan. Berjuang untuk menikahi yang tidak mampu dilepas, atau berjuang untuk melepas apa yang tidak mampu dinikahi hahaha”