Begitu banyak corak kehidupan yang selalu berpendar dan menyilaukan hari-hari manusia. Sebagian untuk disyukuri. Dan sebagian lainnya untuk diakhiri. Memang, di zaman abu-abu seperti sekarang ini; dosa dan pahala jadi terasa sulit untuk dibedakan. Bahkan antara kebenaran dengan kebohongan saja begitu rancu untuk diakui. Manusia bukan lagi hidup berdasarkan fakta—melainkan atas dasar apa yang mereka suka. Jika mereka suka melihatku terkucilkan; maka kebenaran pun akan dinilai salah oleh mereka.
Siang ini aku kesal sekali. Seseorang memintaku untuk berbagi jawaban tentang kuis dari dosen hari ini. Semula aku tidak keberatan karena kupikir mungkin dia benar-benar membutuhkannya—dan bukan karena tidak berusaha sebelumnya. Tapi begitu kubiarkan dia mencatat ulang semua jawabanku—ke lembar tugasnya; dia justru menyebarkan lembar tugasnya itu ke dalam grup kelas. Ditambah lagi, teman-teman meresponnya dengan ucapan ‘terima kasih’. Bahkan sepaket juga dengan pujian-pujian yang pasti membuatnya jadi terbang entah kemana.
Alhasil, dosen pun dapat menyadari dengan mudah—tentang kecurangan yang dilakukan teman-temanku. Lalu sebagai konsekuensinya; kami diminta untuk membuat sebuah artikel—yang setema dengan kuis tersebut—tapi minimal lima belas lembar. Menyebalkan sekali. Rasanya sungguh tidak adil untukku. Dan karena itulah aku terpaksa angkat bicara. Kuberanikan diri untuk menghampiri meja dosen sambil menjelaskan kronologinya—dengan volume suara yang kuatur sedemikian wajar. Akhirnya, dosen memberiku keringanan. Tujuh lembar artikel. Kali ini aku tidak bisa banyak protes. Dosen bilang hukuman itu bukan karena aku menyontek. Tapi karena aku telah memperbolehkan seseorang menyontek.
“Maaf Res, tadi kenapa kamu share jawaban yang kukasih itu ke grup kelas?”
“Hehehe, dalam islam berbagi itukan sama dengan sedekah nah.”
“Tapikan sedekah juga ada adabnya Res. Apalagi yang kamu sedekahin itu hasil kerja orang lain. Dan kamu bahkan gak izin sama yang punya.”
“Yaudah sih nah, jangan saklek-saklek banget jadi orang. Restikan maksudnya baik, cuma mau bantu yang lain aja. Toh kamu juga udah ngadukan ke dosen.”
“Masalahnya bukan soal ‘bantu’ atau ‘ngadu’ Bi, emang kalau koruptor pakai uang hasil korupsinya buat bagi-bagi ke orang yang membutuhkan; itu bisa bikin koruptor tersebut termaafkan secara hukum?”
“.....”
“Terus, emang kalau korban korupsi itu ngaduin koruptor tersebut ke polisi, dan dia dikasih hukuman; setelah itu gak akan ada lagi kasus korupsi serupa?”
“.....”
“Akar permasalahannya itu bukan soal pengakuan atau pun hukuman Res, Bi, akar permasalahannya itu justru ada di dalam kesadaran diri. Karena hanya dengan kesadaran itulah seorang penjahat bisa mengakhiri kejahatannya—dengan suka rela. Dan tentu saja dengan jujur. Bukan sebatas karena ada yang melihat atau tidak ingin dilihat jahat. Jadi tujuan aku ngajak bicara kamu ini untuk sekedar membangun kesadaran diri kamu—bahwa apa yang tadi kamu lakukan itu salah. Bukan untuk menghakimi kamu.”
“Kenapa jadi ribet banget sih nah?”
“Maaf ya Biyan, aku tahu kamu mungkin ada masalah pribadi sama aku—soal Kak Hamzah. Tapi ini urusan aku sama Resti. Jadi tolong diam dulu ya.”
“Lha, kok jadi bawa-bawa Kak Hamzah sih? Kamu mau sombong ya mentang-mentang berhasil dapetin Kak Hamzah?”
“Sudah ya, Resti, intinya aku terpaksa tegur kamu kayak gini karena aku berharap kamu sadar kalau yang kamu lakukan itu salah. Dan aku sengaja memelankan suaraku di depan dosen tadi, karena aku berusaha untuk menjaga nama baikmu di mata teman-teman. Jadi, kalau di saat kita face to face gini—ada Biyan yang tiba-tiba nyamber dan dengar teguranku ke kamu; itu di luar niatku. Oh iya, dan aku berharap semoga next time kamu bisa lebih mudah untuk mengucap ‘maaf’ begitu ada seseorang yang datang untuk mengoreksi kesalahanmu.”
Biyan ini adalah perempuan berkerudung yang kemarin melarang Zaid untuk mengunjungiku di kelas. Perempuan ketus yang seketika bisa berubah jadi lemah lembut kalau sudah dihadapkan dengan Kak Hamzah. Dari awal kali kenal dia memang sudah seperti itu. Tapi tidak pernah kupusingkan karena toh selama ini dia tidak pernah mengusikku. Baru hari ini saja aku mulai mengeluarkan taringku di hadapannya. Itu pun setelah aku melihat sendiri kelakuanya di belakangku. Kalau dia pikir nilai-nilai keislaman di dalam diriku ini bisa membuat dia berbuat seenaknya kepadaku; dia salah! Karena aku telah mengaliri sikap pemberaninya Nusaibah binti Ka’ab di dalam darahku.
***
“Asma!”
“Kak Hamzah?”
“Ngapain duduk di taman sendirian? Mana mukanya sepet banget lagi! Mau ngusir lebah ya?”
“Huh, apa sih kak. Lagi gak mood bercanda nih”
“Kenapa ma?”
“Perempuan yang kemarin ngobrol sama kakak dan Zaid itu lho.. Lagi-lagi dia cari masalah lagi sama aku”
“Ohh, temen sekelasmu yang cantik itu ya?”
“Iwhhhhh, mendingan ondel-ondel deh!”