Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #7

Menyapa Ufuk

Udara siang ini bersahabat sekali dengan kami. Tidak terlalu panas. Cukup mendung. Tapi tidak begitu kelam dan mengkhawatirkan. Semilir angin sesekali datang untuk membasuh peluh di wajah kami. Dari sini aku bisa melihat Kak Hamzah yang sedang sibuk menata poster—dibantu dengan Zaid dan Faris. Anas sedang pergi membeli lakban.

Di event perdama kami ini; Anas bertugas sebagai Divisi Perkap. Sementara Zaid dan Faris sebagai Divisi Acara. Kak Hamzah sempat menunjukku sebagai Ketua Acara. Tapi aku menolak. Akhirnya, tugas ketua dilimpahkan kepada Fatih. Dan aku memilih untuk masuk ke dalam Divisi Konsumsi bersama Kak Shafiyyah.

Waktu itu, ketika kami mulai bermusyawarah untuk merumuskan kepanitiaan event Isra’ Mi’raj ini; ada kesedihan yang sempat melanda persiapan kami. Rasa miris yang lahir dari kesadaran diri—atas terbatasnya sumber daya manusia—yang dimiliki HIMA Islam. Padahal sebelum itu; serambi masjid sudah sempat banjir usulan. Kami sudah sempat setotalitas itu dalam menggali dan menyalurkan ide. Bersinergi dan berkolaborasi untuk membangun semarak islami. Tapi sayang, begitu hal besar itu terancang; kami justru harus kembali ke titik awal. Harus dengan realistis memandang kemampuan. Dan harus belajar menyederhanakan harapan.

“Kira-kira nanti ada yang minat dateng gak ya kak?” Tanyaku di ruang konsumsi.

“In shaa allah ada dek”

“Tapi Kak Shafiyyah bilang; selama ini event HIMA Islam selalu minim peminat?”

“Hehehe, tapikan sekarang ada kamu dek, ada Fatih, Faris, Anas dan Zaid juga. Jadi setidaknya in shaa allah kita punya peminat baru yang datang dari generasi kalian”

“Aamiin. Semoga aja ide marketing dari Fatih—yang minta setiap dari kita buat ngundang minimal lima teman ke sini—jadi bisa membangun kesan ‘ramai’ untuk event ini ya kak”

“In shaa allah dek. Tapi ide dari Dek Zaid yang ngambil MC, akustik band, sama beberapa pengisi acara—dari anggota UKM dan HIMA lain juga bagus banget lho dek untuk strategi marketing. Karena mereka pasti punya massanya sendiri-sendirikan?!”

“Hehehe, iya setuju kak”

“Dan berkat kerja keras kamu, Dek Faris dan Dek Anas dalam menggalang dana usaha—dengan cara jualan snack—sekarang acara kita jadi bisa lebih meriah dari rencana awal lho dek”

“Ehhhh, itukan semua panitia juga bantu jualan kak”

“Iya, tapi kalau Dek Hamnah gak kasih ide itu, terus Dek Faris dan Dek Anas gak susah payah bangun pagi buat berburu snack murah di pasar; kita mana bisa jualankan? Hehe”

“Hmm, iya alhamdulillah kak. Tapi maaf ya aku jadi ngerubah tradisi”

“Gak papa dek, alasanmu juga logis kok. Dan seperti yang kamu bilang; emang udah saatnya kegiatan-kegiatan islam itu di bangun di atas kemandirian. Karena terus-menerus berpangku tangan lewat galang dana hanya akan membuat islam sendiri terlihat miskin.”

“Iya kak, aku sebenarnya takut banget dianggap ‘menutup jalan sedekah’ bagi orang lain yang memang sejak awal—membantu kita—niatnya untuk sedekah. Bukan karena merasa kasihan, terpaksa, atau justru memberi dalam rangka menghina. Tapi kupikir, karena HIMA Islam ini bukan lembaga sosial. Dan HIMA Islam ini beranggotakan anak-anak muda. Jadi tidak ada salahnya kita menempuh jalan yang lebih energik dari sekedar minta-minta. Lagi pula dari sini kita justru jadi bisa tahu nikmatnya ‘bekerja keras’ dalam mewujudkan cita’cita”

“Mashaallah, beruntung banget HIMA Islam kedatangan kamu ya dek”

“Alhamdulillah, beruntung juga aku karena bisa kenal HIMA Islam dan kalian kak”

Sebagai orang yang pernah memandang islam tanpa kacamata tauhid; aku tahu betul risihnya melihat umat muslim bertebaran—dengan pakaian kebanggaan mereka—hanya demi mengemis empati dan rasa peduli dari orang lain. Terkadang mereka melakukannya atas nama pembangunan masjid. Atau atas nama pemberdayaan anak yatim piatu dan fakir miskin. Serta tidak jarang juga atas nama event keagamaan. Padahal, dari penggalangan dana seperti itulah aku—di masa lalu—bisa melihat jelas adanya kerenggangan antar umat muslim.

Katanya pemeluk agama islam itu mayoritas. Lantas kemana mereka yang kaya? Apakah sudah menjadi kapitalis dan budak kerja? Lantas kemana mereka yang berdaya? Apakah sudah tidak peduli dengan eksistensi agamanya? Lantas apakah hanya orang-orang miskin dan lemah saja yang tersisa? Yang peduli pada agama—tanpa tahu bagaimana harus menggugah hati saudaranya?

Padahal, seharusnya kemayoritasan itu bisa menjadi modal bagi umat muslim—dalam membangun sejarah baru yang melegenda seperti Al-Fatih. Apa bedanya dulu dengan sekarang? Toh jumlah itu masih sama besarnya. Tidak ada yang mengecil sedikit pun—setelah momen pembebasan Konstantinopel itu—kecuali iman dan awareness umat muslim terhadap islam itu sendiri. Dan kali ini, aku ingin belajar bernapas dengan cara yang baru. Cara yang mungkin terbilang menyesakkan—tapi bagiku pribadi—jauh lebih elegan. Syukurlah aku bernapas di antara rimbunnya keimanan teman-teman HIMA Islam. Tanpa respon baik dari mereka; aku tidak mungkin bisa selega ini.

***

Alhamdulillah acara hari ini berjalan lancar. Walaupun belum bisa mendatangkan banyak pengunjung; setidaknya ada lebih dari sembilan puluh orang yang datang ke labirin buatan kami—untuk melihat-lihat poster islami itu. Poster fotografi yang mengandung makna kemuliaan Nabi Muhammad. Lengkap dengan kata-kata mutiara yang semoga saja bisa membangun energi positif di hati pembacanya. Ada juga poster design grafis yang sengaja dibuat untuk menghidupkan kembali ingatan teman-teman tentang sejarah isra’ mi’raj.

Beruntunglah menjelang acara inti tadi—jumlah pengunjung bertambah jadi seratus lima puluhan orang. Berkat euforia itu, Ust. Syatori—pengisi acara ‘sesi muhasabah’—merasa terharu. Beliau sampai menitiskan air mata ketika memberi pesan pada kami—tentang bagaimana islam di masa depan harus pulih dan berlepas diri dari keterbelakangan. Aku juga menangis. Kak Rumaisha merangkulku. Kak Syifa dan Kak Shafiyyah bergandengan tangan. Di depan sana, Kak Muazah juga pasti merasakan getaran yang sama—seperti yang sedang kami rasakan. Kulihat Kak Laila menatap tegar kerumunan itu. Ada air mata yang terus disimpannya di balik pelupuk mata.

“Alhamdulillah ya kak acaranya lancar”

“Alhamdulillah ma, kamu tahu gak kuncinya dimana?”

“Di Allah”

“Haha, benar. Maksudnya dalam ranah muamalahnya”

“.....”

“Karena dalam poster-poster yang kita pasang di mading kemarin—ada note ‘ngebakso bareng ust’, makanya menjelang acara inti pengunjungnya bertambah banyak hahaha”

“Serius kak gara-gara itu?”

“Iyaaa, namanya juga anak kos ma. Teman-temanku sendiri juga banyak yang ngaku, katanya mereka mau dateng menjelang makan aja hahaha”

“Ya ampun hahaha, tapi semoga aja selain kenyang; ada hidayah Allah yang juga melekat di hati mereka ya kak”

“Aamiin, makasih ya Asma”

“Eh iyaaaa, btw kenapa sih kakak selalu manggil aku Asma?”

Lihat selengkapnya