Sejak kejadian waktu itu, hubunganku dengan Resti dan Biyan belum kunjung memulih. Aku berusaha menyapa mereka di setiap tatap muka yang kita jumpa. Terkadang aku juga sengaja menggabungkan diri dengan mereka dalam sebuah tugas kelompok. Bahkan sempat beberapa kali duduk semeja kantin dengan mereka. Pokoknya; I have tried as best as I can.
Tapi sepertinya image burukku sudah terlanjur melekat kuat dalam benak mereka. Semakin keras aku berusaha mengubah persepsi mereka tentangku; maka semakin keras juga suara benci itu mengaung di dalam hari mereka. Jujur, aku bingung. Aku bahkan tidak merasa telah melakukan suatu kesalahan. Aku mengemis keakraban dengan mereka pun—bukan karena aku tidak punya teman selain mereka. Semua yang kulakukan ini adalah murni untuk menjauhkan spekulasi negatif mereka tentang HIMA Islam.
Tapi akhirnya, entah kenapa penolakan mereka yang berlarut ini—sekarang—justru membuatku sedih. Membuatku jadi semakin tidak ingin menyerah untuk mendapatkan senyum mereka. Padahal, entah sudah berapa belas kali mereka meninggalkan meja kantin hanya untuk menghindariku. Entah sudah berapa belas kali mereka tidak menganggapku. Dan entah sudah berapa belas kali aku mendengar mereka mencibirku—di belakang. Tapi anehnya, perasaan benci itu tidak lagi bisa kumaknai. Yang tersisa saat ini hanyalah obsesi untuk memperbaiki apa yang pernah terjadi.
***
Seperti Kamis biasanya, sore ini aku dan Kak Rumaisha berkumpul di masjid untuk mengadakan rapat rutin HIMA Islam. Selain kami berdua—juga sudah ada Anas, Zaid dan Faris. Tapi mereka bertiga sedang fokus nyicil tugas kuliah. Sepertinya dikejar deadline. Jadi kuputaskan untuk tidak mengganggu mereka—dan hanya membangun dialog dengan Kak Rumaisha. Dan sambil menunggu teman-teman yang lain keluar kelas; aku memanfaatkan waktu untuk mencharger imanku—dengan berbagi keluh kesah kepada Kak Rumaisha—soal Biyan dan Resti.
“Kak Rumaisha pernahkah dibenci orang sampai seperti itu?”
“Belum pernah sih dek, tapi ya gak tahu kalau ternyata emang ada, siapa tahukan mungkin aja ada—tapi akunya yang gak sepeka kamu dek hehe”
“Hahaha, tapi kalau sekalem kakak gini sih mana bisa dibenci”
“Aamiin.. btw menurutku kamu itu tergolong baik lho dek”
“Kalau baik harusnya gak punya haters kak”
“Emang indikator orang gak baik itu punya musuh dek?”
“Menurutku gitu kak”
“Kayaknya gak gitu deh dek. Karena, kamu tahu gak sih? ternyata ya, satu-satunya alasan kenapa kita tidak bisa berbuat dan bersikap baik terhadap orang yang sudah jahat sama kita itu—adalah—karena rupanya kita sendiri bukan orang baik. Nah sementara yang tadi aku tangkap dari cerita kamukan—kamu sudah berusaha bersikap baik sama mereka dek. Bahkan setelah kamu tahu tentang apa yang mereka sudah dan masih lakukan di belakang kamu. Gak gampang lho bersikap kayak gitu. Cuma orang baik yang bisa melakukannya”
Aku yakin, aku belum sebaik yang dideskripsikan Kak Rumaisha. Buktinya aku saja masih mengeluh dan berberat hati ketika usahaku tidak kunjung membuat mereka bersikap baik kembali kepadaku. Itu artinya aku memang belum ikhlas. Aku belum melakukan semua usaha itu semata-mata karena Allah. Masih ada tujuan lain di balik semua itu—yang kadang aku sendiri tidak yakin—apa itu. Apakah karena sebagian rongga di hatiku masih haus pujian. Atau haus respect. Atau mungkin haus pengakuan. Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku tidak akan menunggu sampai keikhlasan itu datang lebih dulu—hanya untuk melakukan sesuatu yang memang sebaiknya kulakukan sedini mungkin.
Tentang prinsip ini—aku jadi teringat pada sebuah frasa yang menurutku pribadi adalah karya besar—dan bukan sebatas kata-kata. Bagiku, frasa ini telah mampu mewakili gambaran baik dari seorang mukmin sejati. Tentu saja. Sebab frasa ini adalah susunan kata yang lahir dari pengalaman hidup seorang ulama tersohor di Malaysia. Susunan kata yang sarat akan praktik—mulai dari sebagai penuntut ilmu, politikus, pembisnis, sampai dengan profesor. Kurasa semua jabatan luar biasa—yang berhasil dienyamnya itulah—yang kemudian membentuk sebuah nyawa dari setiap frasa karangannya tersebut. Dan khusus untuk frasa yang satu ini, aku akan membanginya dengan kalian. Jadi tolong—setelah ini—kirimkan al-fatihah untuk Alm. Tuan Guru Datuk Dr. Haron Din yang bersahaja itu ya!
“Orang mukmin yang hebat ialah dia meninggalkan dunia sebelum dia meninggal dunia. Dia bersedekah sampai kaya, bukan ketika kaya baru bersedekah. Dia berdakwah sampai jadi alim, bukan ketika sudah alim baru berdakwah. Dia datang ke masjid sampai tua, bukan ketika tua baru ke masjid. Dia beramal sampai ikhlas, bukan ketika ikhlas baru beramal.”
Bagaimana? Bukankah susunan kata itu amat sangat cukup untuk memotivasi kita agar jangan sampai minder dalam beribadah?! Agar selalu menanamkan nilai ‘terpaksa’ untuk sebuah tujuan akhir dalam membangun ‘keterbiasaan’?! Kata-kata itu menyiratkan makna bahwa; lebih baik memulai ibadah dengan terpaksa—daripada menunggu sampai waktu terbuang sia-sia.
Ya, setidaknya itulah ruh di balik kekeraskepalaanku untuk terus melakukan sesuatu—yang menurutku baik. Meskipun terkadang—di balik semua tindakan itu; aku masih banyak mengeluh.
***
“Btw ya Dek Hamnah, perempuan yang mukanya kayak orang turki itu apa bukan mahasiswa seangkatan kamu ya?”
“Yang rambut panjang itu ya kak?”
“Iya, kayaknya aku selalu lihat dia di masjid”
“Mmm, kalau diinget-inget; aku emang pertama kali lihat dia pas oprec sih kak”
“Ohh dia sempet ikut oprec HIMA Islam dek?”
“Kayaknya enggak deh kak, soalnya dia cuma duduk di serambi, gak ikut masuk ke dalam”
“Tapi kok kayaknya setiap kita kumpul, dia juga ada ya dek?”
“Iya juga ya kak. Kalau gak salah, setiap Senin pagi juga dia udah ada di masjid. Aku selalu lihat dia udah standby di depan laptopnya—setiap kali kita mau KOPI ABATA. Kalau dipikir-pikir; aneh sih. Kenapa dia harus ngerjain tugas—di kampus—sepagi itu ya kak?”