Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #9

Kesan Pertama

Ada satu hari dalam seminggu—yang lekat sekali dengan identitas muslim. Pada hari itu semarak nyanyian surga memadati hampir setengah dari perjalanan matahari—melalui pengeras suara dari berbagai masjid. Sama seperti keutamaan hari Sabtu untuk kaum Yahudi dan hari Minggu untuk kaum Nasrani; Jumat adalah hari yang penuh keutamaan bagi umat muslim.

Minimalnya, ada lima hal yang kemudian menjadikan Jumat sebagai hari spesial bagi penganut agama islam, yaitu; bahwa Nabi Adam diciptakan pada hari Jumat, Nabi Adam dimasukkan ke surga pada hari Jumat, Nabi Adam dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi pada hari Jumat, Kiamat akan terjadi pada hari Jumat, dan bahwa hari Jumat adalah waktu yang mustajab bagi umat muslim untuk menyuarakan doa dan pintanya.

“Jumat mubarrak, jangan lupa baca al-kahf, usahakan untuk menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari surat al-kahf supaya kita terhindar dari fitnah dajjal ya dek, dan jangan lupa potong kuku, keramas, bersih-bersih diri dan lingkungan. Hamasah!”

Itu adalah pesan dalam grup HIMA Islam yang tidak pernah absen dikirimkan Kak Laila setiap kali Jumat tiba. Pesan itu sudah seperti automatic reminder yang aku bahkan sampai hafal isinya. Tapi dari semua seruan itu, satu hal yang belum pernah coba untuk kulakukan adalah ‘menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari surat al-kahf’.

Jujur, aku belum tertarik untuk melakukannya karena aku sendiri belum mengerti apa yang dimaksud dengan ‘fitnah dajjal’. Sebahaya apa fitnah itu dan sepenting apa aku untuk menghindarinya. Mungkin, next time aku akan mencari tahu soal itu.

“Ikrimaaaaaa” Aku mencoba menyapa sosok wanita familiar yang sedang berjalan menuju masjid itu.

“......” Ikrima hanya menoleh sekilas, lalu mempercepat langkahnya.

“Bruuuggh” Kak Hamzah tidak sengaja bertabrakan dengan Ikrima.

“Lho, kamu si pemborong itu ya? Halo, lama gak kelihatan”

“Lho, Kak Hamzah sudah kenal Ikrima?” Tanyaku tersengal-sengal setelah berlarian.

“Belum sih ma, tapi dulu pas kita jualan buat cari dana isra’ mi’raj; hampir setiap hari dia borong jajanan yang aku jual. Terus karena penasaran, aku sempat ngikutin dia diam-diam. Ehh ternyata semua jajanan yang dia beli itu—dia bagiin ke teman-teman sekelasnya hahaha. Aku kira dia doyan makan.”

“Kakak ngikutin aku?”

“Iya, tapi cuma sekali kok. Waktu itu—sebelum kamu masuk kelas—aku juga lihat kamu ngeluarin biskuit kucing dari dalam tas, terus kamu duduk anteng banget di antara kucing-kucing yang lagi makan itu. Kamu suka kucing?”

“Iya kak” Kali ini Ikrima menjawab dengan tundukan yang kian dalam.

“Jangan-jangan waktu itu Ikrima sengaja borong dagangannya Kak Hamzah buat bantu HIMA Islam ya?” Aku mulai membungkuk—mencari wajah Ikrima.

“Iya Hamnah”

Ajaib, keberkahan hari Jumat rupanya benar-benar ada. Untuk kali pertama Ikrima menjawab pertanyaanku. Bahkan dia menyebut namaku. Sungguh suatu kebahagiaan yang sulit dijabarkan. Ada rasa girang dan kaget yang berpadu-padan memeriahkan hatiku. Aku sampai tidak tahu bagaimana mimik wajahku saat ini. Pasti senyumku terlihat aneh sekali. Dan tanpa sadar; aku memeluk Ikrima. Dia tidak merengkuhku balik. Tapi aku tetap senang karena setidaknya dia tidak berusaha untuk berlepas diri dari dekapanku.

***

Jumat ini adalah jatahnya Kak Hamzah untuk sharing seputar islam kepada kita semua. Syukurlah Saiba dan Hafsah berkesempatan hadir di pertemuan kali ini. Sejak kemarin sore, tepatnya setelah Kak Rumaisha memberi kabar soal Ikrima—di grup; Kak Laila memang sudah mewanti-wanti kita semua agar tidak melewatkan momen sambutan untuk Ikrima sore ini. Beliau mau, kita semua bisa memberikan kesan yang hangat dan positif kepadanya. Kak Laila juga sempat mengingatkan kita untuk jangan dulu menyinggung soal hijab.

“Setiap hati punya kapasitasnya sendiri-sendiri, kalau kita terlalu mendoktrin dia pada hal-hal yang belum kita ketahui pasti latar belakang penundaannya; kita justru bisa membuatnya semakin menjauh dari hidayah.”

Itulah pesan yang dikirimkan Kak Laila, tepat pada waktu subuh tadi. Pesan yang juga baru saja di re-send untuk mengingatkan kita semua. Semoga saja tidak ada salah satu pun di antara kita yang sampai menyinggung perasaan Ikrima. Sejak dulu, HIMA Islam adalah HIMA yang paling sedikit diminati mahasiswa. Jadi sudah sewajarnya jika kemudian—kita bermaksud untuk mengayomi siapapun anggota baru—yang telah dengan suka rela bergabung ke dalam HIMA Islam ini. Dan kurasa, menjaga perasaan Ikrima seperti arahan Kak Laila pun bukan suatu hal yang berlebihan.

Kak Hamzah, selaku ketua HIMA Islam mulai menyapa dan memperkenalkan Ikrima kepada kita semua. Dia menceritakan soal Ikrima persis seperti yang diceritakannya kepadaku beberapa saat lalu. Dari penuturannya itu; kita semua jadi tahu bahwa Ikrima adalah pencinta kucing. Walau pendiam, Ikrima banyak disukai teman-teman di kelasnya. Dia perempuan yang pintar dan loyal.

Sebentar, sepertinya untuk point yang terakhir itu; Kak Hamzah hanya berbicara atas dasar ‘kesoktahuannya”. Dia memang laki-laki yang pintar mengambil hati. Aku meliriknya dengan wajah ngeledek. Tapi meski merasa lucu dengan sifat Kak Hamzah barusan, aku tidak ingin tertawa. Karena walaupun sama-sama belum tahu, aku yakin bahwa Ikrima memang gadis yang pintar dan loyal.

Lihat selengkapnya