Entah sejak kapan jarum jam terasa begitu lamban berputar. Hanya dering notifikasi gruplah yang baru-baru ini berdentum mewakili irama detik kehidupan. Ikrima telah memberi warna baru dalam HIMA Islam. Di balik diamnya yang bersahaja; ada belasan gurat pelangi yang selalu mengundang kekaguman. Dia bukan hanya seorang gadis yang cerdas, namun juga inspiratif. Dan mungkin, tanpa sadar rasa minderlah yang kemudian membuatku menarik diri dari serunya fase ta’aruf di antara mereka.
“Hamnah, kemana aja? Tumben beberapa hari gak muncul di grup”
“Eh Zaid, bikin kaget aja”
“Lho, lagi ngelamun?”
“Hehe”
“Ngapain ngelamun sendirian di taman?”
“Bukan ngelamun, ngantuk. Aku begadang ngerjain tugas semalam”
“Ohh, pantes lama gak gabung di chat grup. Lagi banyak tugas toh”
“Anas sama Faris mana? Tumben keluar kelas gak bertiga?”
“Aku usir tadi, biar gak ganggu kita”
“Hahaha, yah berarti saya ganggu dong?” Suara Kak Hamzah mendadak terdengar.
Siapa sangka, setelah beberapa bulan terbiasa menghabiskan waktu bersama; sekarang aku justru kembali kaget dengan kehadiran Kak Hamzah yang tiba-tiba seperti ini. Ada sekelumit perasaan yang sulit sekali untuk dimengerti. Aku sendiri bahkan tidak yakin dengan dugaanku. Tapi kurasa ini mungkin memang bukan perasaan ‘suka’—layaknya perasaan yang marak menggandrungi hati anak pubertas. Ini lebih kepada perasaan ‘sungkan’. Apalagi setelah aku tahu bahwa perlakuan tidak enak dari Ikrima itu adalah bentuk protesnya terhadap kedekatanku dengan Kak Hamzah.
Dan sejujurnya, di sisi lain dari sudut hatiku; aku juga masih berharap untuk bisa berdamai dengan Ikrima—seperti teman-teman HIMA Islam yang lain. Jadi mana mungkin setelah semua pertimbangan itu; aku masih bisa nyaman berdekatan dengan Kak Hamzah di luar forum. Meskipun toh selama ini keakraban dan intensitas dialog kami tidak pernah lepas dari sharing seputar islam.
“Asma, kamu lagi ada masalah?”
“Enggak kak, cuma ngantuk karena semalam habis lembur ngerjain tugas”
“Yeeee, kok malah kamu yang jawab id? Kamu sudah ganti nama?”
“Hahaha, saya jubirnya Hamnah kak”
“Oh iyaaa, Kacipaaaaa” Aku berusaha menarik diri.
“Eh Hamnah, kita jadikan masak-masak hari ini?”
“Jadi kak, yuk yuk ke kosanku sekarang aja”
***
Padahal maksud hati ingin menghindari Kak Hamzah. Tapi sekarang kami justru terjebak di antara tepung-tepung. Namanya juga laki-laki. Anak kos pula. Kalau sudah dengar ‘masak-masak’ dan kegiatan itu berpotensi pada ‘makan gratis’; jangankan tidak diajak—diusir pun mereka akan tetap mengekor. Apalagi keakraban yang terjadi di antara kami—selama ini—telah mengikis nilai-nilai gengsi dan jaim terhadap satu sama lain.
Coba tebak, siapa saja yang saat ini sedang mengotori dapurku dengan alih-alih ‘membantu’? Jangan kaget ya! Selain Ikrima, Kak Laila, Kak Muazah dan Rumaisha; kami bersepuluh hijrah basecamp dari masjid kampus ke dapur kos belakang kampus. Untunglah ibu kosku tidak tinggal di sini. Dan untung juga karena aku masih satu-satunya penghuni di kos ini. Jadi aku tidak perlu cemas bahwa kerusuhan kami selama masak nanti—akan mengganggu kenyamanan orang lain.
Oh iya, aku lupa cerita kepada kalian. Kosanku ini dulunya adalah rumah pribadi milik sepasang suami istri yang cukup kaya. Namun sejak beberapa tahun lalu—rumah ini terpaksa tidak lagi dihuni karena sang suami meninggal dunia. Ibu kosku memutuskan untuk pindah ke rumah anaknya. Dan meninggalkan begitu saja semua barang yang tidak bisa terangkut ke sana. Fasilitas dapur inilah salah satunya.
Ibu kosku sangat baik. Dia memberiku kamar yang terletak di ruang tengah. Dekat dengan dapur dan kamar mandi pribadi. Dia juga mempersilahkanku untuk memanfaatkan semua fasilitas yang ada di sini. Tentu saja dengan tetap menjunjung rasa tanggung jawab. Dan sebagai konsekuensinya; aku harus siap membersihkan ruangan sebesar ini seorang diri. Toh memang hanya aku sendirilah yang memanfaatkan fasilitasnya.
Lagi pula, bangunan yang kusinggahi ini memang terpisah dari deretan kamar kos lainnya—yang sedang dalam proses pembangunan. Jadi tidak heran jika belakangan ini—Kak Syifa yang hobi masak itu—semakin senang berkunjung ke kosanku. Bagi dia, fasilitas dapur semacam ini adalah harta karun. Ada kompor, gas, panci, wajan, ulekan, termos, seperangkat alat masak dan bahkan seperangkat alat makan.
“Eh Hamzah, elu ngapain sih dari tadi? Karya lu mana?”