Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #11

Batas Logika

Terlalu banyak hal yang masih harus kita lakukan di dunia ini. Entah dalam kesendirian, maupun di tengah keramaian. Begitu berartinya sisa waktu yang ada di hadapan kita saat ini; sampai-sampai terasa rugi sekali jika ada satu detik saja—yang terbuang sia-sia hanya untuk sebuah pertikaian. Memikirkan bagaimana kita di dalam benak orang lain, dan sederet upaya diri untuk menjaga image baik di mata orang lain; bagiku pribadi adalah hal yang amat sangat menyita waktu. Dan aku ingin menyerah atas itu.

Kepalaku sampai pusing sekali setiap kali memikirkan soal Ikrima. Soal bagaimana aku bisa menjadi baik menurutnya. Soal gimana caranya aku bisa menjadi akur dengannya. Dan soal seperti apa aku harus menjaga perasaannya. Ini seperti menata bongkahan puzzle dari gambar yang sama sekali belum pernah kulihat. Memusingkan sekali. Memaksakan diri atas ini jadi membuatku banyak kehilangan produktifitas.

Apalagi usia remaja seperti aku ini juga sedang besar-besarnya ego. Sudah harus berbagi perhatian kakak-kakak HIMA Islam dengan Ikrima; ditambah lagi harus menjauh dari Kak Hamzah hanya untuk meladeni fase pubertasnya. Aku inikan bukan cinderella yang lemah. Jadi untuk apa aku harus menuruti semua syarat tak tertulis itu hanya untuk mengemis perdamaian darinya?

Toh dengan tetap menjadi diriku sendiri pun—aku tetap bisa berdamai dengannya. Berdamaikan bukan berarti harus akrab. Selama aku tidak melakukan kejahatan pada Ikrima, dan tidak membalas kejutekannya dengan sikap serupa; itu sama saja damaikan? Jadi, mulai hari ini aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi mendramatisir segalal sesuatunya. Aku ingin hidup sebagaimana wajarnya aku di hari-hari sebelum Ikrima datang.

***

Siang ini kelasku berakhir lebih lama dari waktu zuhur pertama kali tiba. Aku bersegera ke masjid untuk menunaikan kewajiban yang tadi tertunda. Dalam hatiku—aku berharap ada sekelompok kecil yang sedang sholat berjamaah di sana. Karena sejak dulu, aku adalah yang termaksud senang dengan nuansa ‘sholat berjamaah’. Bukan hanya tentang pahalanya yang jadi dua puluh tujuh kali lipat dibanding dengan sholat sendiri. Tapi juga karena—bagiku pribadi; sholat berjamaah merupakan cermin kecil dari agungnya keindahan islam.

Coba bayangkan; kapan lagi bisa kita jumpai sebuah momen dimana pejabat berdiri bersampingan dengan pedagang. Pendengki berhimpitan bahu dengan yang didengki. Stake holder bersebelahan mata kaki dengan cleaning service. Profesor duduk berdampingan dengan marbot masjid. Dan sebagainya.

Aku, setiap kali waktu sholat tiba, selalu merindukan pemandangan yang harmonis itu. Dan aku senang menjadi bagian dari hangatnya kerukunan dalam shaf-shaf yang berdiri kokoh di sana. Tidak jarang aku sampai menitiskan air mata. Entah apa yang ingin dikatakan hatiku lewat rinai keharuan itu. Padahal sudah berlalu beberapa tahun sejak kali pertama aku mengagumi momen ini. Tapi sampai sekarang; perasaan itu tidak berkurang sedikit pun. Masih tetap padat dengan rasa kagum dan kerinduan. Bagiku; sholat bukan hanya suatu bentuk ibadah—melainkan juga bagian dari dakwah.

***

Beruntung sekali, ternyata setibanya aku di masjid—ada beberapa mahasiswa yang sedang menunaikan sholat berjamaah. Kulihat Fatih juga berdiri di antara mereka. Sambil berjalan menuju ruang wudhu; aku mengamati penampilan imam yang sedang mengambil komando di depan sana. Jujur, ini adalah kali pertama aku mendapati orang ‘seperti itu’ menjadi imam sholat. Rambutnya gimbal panjang. Bajunya pun bukan koko atau kemeja. Hanya sehelai kaos hitam dengan bagian lengan yang menyingkap sampai ke atas sikut.

Aku jadi bertanya; apakah bisa sah sholatku jika diimami dengan orang yang penampilannya jauh dari standar imam pada umumnya itu? Entahlah. Tapi jika Fatih yang seorang alumni pondok pesantren saja bisa sholat di belakangnya; kurasa tidak ada salahnya jika aku juga bergabung sebagai makmum. Nanti selepas sholat akan kutanyakan pada Fatih untuk memastikan lagi.

“Hahaha” Fatih tertawa mendengar pertanyaanku. Kami bicara sambil berbisik.

“Tssssst, jangan kenceng-kenceng tih, nanti dia dengar bisa tersinggung lho”

“Haha afwan-afwan. Berarti elu baru sekali ya ketemu imam model gitu?”

“Iya, selama ini kebanyakan bapak-bapak pakai koko, peci, sarung. Atau minimal anak muda tapi pakai kemeja tangan panjang. Intinya rapih gitu lho tih”

“Mmm, emang sih afdholnya ketika sholat itu kita mengenakan pakaian terbaik. Namanya juga mau ketemu Allah”

“Iyakan?!”

“Tapi balik lagi; pakaian terbaik tiap orangkan beda-beda. Kalau buktinya dia aja bisa berangkat ke kampus dan ketemu dosen dengan penampilan seperti itu; berarti bisa jadi menurut dia itu memang pakai terbaik dan tersopannya”

“Eh tih, tapi emang sah ya sholat diimami orang yang berpenampilan seperti itu?”

“In shaa allah sah, kan syarat menjadi imam itu; islam, berakal, baligh, laki-laki, suci, paham rukun sholat, menutup aurat dan fasih bacaannya. Elu harus tahu syarat sah sholat dulu supaya bisa membedakan antara syarat dan adab nah. Kalau syarat gak terpenuhi; barulah bisa bikin sholat gak sah. Tapi kalau adabnya yang kurang terpenuhi; in shaa allah bisa tetap sah meskipun mungkin kurang afdhol. Wallahu’alam. Lagi pula walaupun penampilannya gak rapih—bukan berarti dia gak bersihkan? Toh aurat laki-laki juga cuma dari pusar sampai lutut. Jadi meskipun dia tidak pakai baju lengan panjang—dia sudah memenuhi syarat menutup aurat. Rambutnya juga diikat, jadi tidak menutupi keningnya ketika sujud”

“Iya sih tih”

“Dan btw dia itu juga alumni pondok lho. Tapi mungkin jiwa senimannya tinggi.”

“Ohhh gitu? Berarti bacaannya fasih ya?”

“Yoi, bahkan lebih fasih dari ane kayaknya. Soalnya ane pernah beberapa kali dengar dia ngaji di pojok masjid”

Selain soal si imam, aku juga sempat bertanya pada Fatih soal orang di sebelah dia—yang tadi mengenakan peci. Aku penasaran kenapa tadi—sebelum sholat—kalau dia memang belum siap menjadi imam; kenapa setidaknya dia tidak meminjamkan saja peci itu kepada si imam. Dengan begitu dia telah membantu jamaah dalam menyempurnakan sholat bersamakan?!

Tapi ternyata—kata Fatih; hal semacam itu justru makhruh. Itsar atau mendahulukan kepentingan orang lain memanglah sesuatu yang mulia. Tapi jika itsar dilakukan dalam hal ibadah; ternyata justru menjadi sesuatu yang tidak dibenarkan dalam islam. Seperti mendahulukan orang lain untuk berada di shaf terdepan—hanya karena dia atasan kita. Atau meminjamkan sarung, koko, kopiah yang sedang dikenakan—hanya untuk orang lain yang notabenenya sudah memenuhi syarat dalam menutup aurat.

Intinya, asalkan aqidah kita sama; maka tidak masalah untuk sholat di belakang imam yang tidak berpeci atau bahkan berkaos oblong. Yang penting, jangan sampai kita justru meninggalkan keutamaan sholat berjamaah hanya karena kesombongan diri. Merasa diri lebih layak menjadi imam—daripada orang lain. Tapi memang lebih baik lagi jika seseorang yang hendak menjadi imam itu juga memperhatikan kerapihan dirinya. Karena memperhatikan kenyamanan makmum adalah bagian dari hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang imam.

“Untungnya baju bagian belakang dia polos nah. Soalnya kalau seorang imam, pakai baju yang di bagian belakangnya ada gambar atau tulisan; bisa bikin fokus makmumnya jadi ke-distract.”

Lihat selengkapnya