Tidak terasa waktu terus berputar dan sedikit banyak telah menciptakan sebuah perubahan. Akhir-akhir ini bertemu dengan Kak Laila dan Kak Muazah sudah menjadi momen yang spesial bagi aku dan teman-teman HIMA Islam yang lain. Padahal dulu, mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan kami. Tapi jenjang pendidikan memaksa keadaan untuk terus berpaut jarak. Kak Laila sudah masuk semester delapan. Skripsi merebut sebagian besar dari waktunya. Semestara Kak Muazah yang menapaki semester enam sudah harus berjuang menyelesaikan projek KKN. Lalu disusul dengan target magang setelahnya.
Tapi sebagai gantinya; Kak Laila membuat ruang pertemuan baru untuk aku dan teman-teman akhwat. Akhwat itu artinya perempuan. Agenda pertemuan itu kami sebut sebagai liqo. Aku suka momen liqo karena di sini kami full team. Semuanya bisa hadir karena jadwal ini memang ditentukan sesuai slot free time yang kami miliki. Aku juga suka liqo karena hanya ada perempuan di sini. Jadi, aku bisa menangis dan tertawa sesuka hati tanpa harus merasa canggung atau malu. Setelah Kak Laila menggagas pertemuan ini, aku merasa ikatan kekeluargaan di antara kami jadi semakin erat. Kami semakin bisa mengenal satu sama lain dalam banyak aspek.
Di dalam pertemuan itu kami melakukan kegiatan yang lebih kompleks dari biasanya. Kami membaca al-qur’an dan menarik hikmah di setiap surat yang dibaca. Kami melakukan muhasabah terhadap masalah di lingkungan sekitar yang menyita perhatian. Kami belajar mengobservasi isu-isu nasional. Kami curhat seputar banyak hal yang bersifat privasi. Dan kami mulai membiasakan diri untuk menyelesaikan beberapa weekly target, seperti; membaca al-qur’an sekian juz perminggu, membaca buku sirah nabi, hafalan juz tiga puluh, serta update knowlage seputar fiqih wanita. Kegiatan ini kami lakukan setiap hari Jumat. Dari jam sebelas sampai jam satu siang. Lokasinya lebih fleksibel. Kadang di bawah pohon taman. Kadang di serambi gedung kelas. Dan kadang di kosanku. Tapi akhir-akhir ini lebih sering di kosanku.
Kata Kak Laila; liqo ini tergolong perkumpulan yang bersifat tertutup. Berbeda dengan kegiatan kemuslimahan atau kajian umum yang bisa dihadiri siapa saja—karena anggota liqo biasanya bersifat ‘itu-itu aja’. Kalau pun akan ada orang baru; pasti harus dengan izin dan pertimbangan seluruh anggota. Dan menurutku itu wajar. Karena sikap tertutup yang semacam ini bukanlah bentuk dari ‘kekhususnan member’—melainkan kenyamanan dan keamanan privasi. Sebab, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya; di dalam pertemuan ini kami juga akan melakukan sharing seputar persoalan pribadi. Mulai dari urusan keluarga, saudara, pergaulan, sampai dengan cinta. Jadi wajar saja jika tidak semua orang bisa bergabung sesuka hati. Karena tidak semua orang bisa merasa nyaman untuk berbagi hal pribadi dengan siapa saja—tanpa ada ikatan rasa keluarga.
***
Seperti biasa, Senin pagi adalah jadwalnya KOPI ABATA. Dan seperti biasa juga, Ikrima datang paling pertama di antara yang lainnya. Tapi kali ini aku tidak melihat Ikrima di serambi masjid. Hanya ada tasnya yang tergeletak teledor di sudut ruang. Dan karena penasaran; aku berusaha mencarinya di dalam tempat wudhu. Karena berdasarkan pengamatanku; Ikrima memang sering melakukan sholat dhuha. Jadi, siapa tahu dia sedang mengambil wudhu di sana. Aku ingin memastikannya. Sebab, kalau sudah melihat orang lain beribadah; biasanya semangat ibadah itu juga jadi menular kepadaku. Semacam gairah untuk fastabiqul khairot, atau berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Astaghfirullahal’adzim Ikrima!”
“Hamnah?” Ikrima lantas buru-buru menurunkan kembali lengan bajunya.
“Tangan kamu kenapa?”
“Maaf aku mau sholat”
“Gak boleh! Jawab dulu!”
“Awas! Gak semua hal harus kamu tahu jawabannya!”
“Tapi itu lecet-lecet lho ma!”
“Kamu bisa gak sih gak usah sok baik?”
“Bisa! Tapi nanti, setelah aku obatin kamu. Ayo ikut!”
Ikrima ini memang manusia spesies langka. Bisa-bisanya dia masih gengsi dalam situasi kepepet seperti itu. Dan sejujurnya aku penasaran tentang luka di kedua lengan tangannya. Itu seperti bekas pukulan. Banyak tanda memar di sana. Bahkan walau sekilas—aku bisa melihat ada jejak goresan yang sebelumnya pasti mengeluarkan darah. Tapi untuk sementara; aku harus menahan kuat-kuat rasa penasaran itu di ujung lidahku. Aku lantas menarik masuk Ikrima ke ruang takmir. Ada kotak P3K di sini.
Rasanya, baru kali ini aku bersikap keras terhadap seseorang. Ikrima bahkan sampai membisu setelah bentakanku terakhir tadi. Bisa kulihat telapak tangannya juga memerah—karena genggaman dan tarikanku yang terlalu kuat. Aku tidak tahu kenapa aku bisa secemas ini melihat kondisi Ikrima. Mungkin karena ternyata rasa kesalku tidak sebesar rasa kemanusiaanku. Apalagi setelah sekian banyak momen tatap muka yang kita habiskan di dalam forum HIMA Islam.
“Aku bukan anak PMI dan gak pernah belajar SOP pertolongan pertama, jadi maaf kalau nanti agak sakit ya. Tahan!”
“Ke.. kenapa kamu jadi galak banget?”
“Tsuuuut!”
“Kamu beneran suka sama Kak Hamzah ya?”
“Bisa gak jangan ganggu konsentrasi? Aku sebenarnya phobia lihat luka tahu!”
“Beberapa waktu lalu aku pernah sharing sama Kak Hamzah soal target nikah”
“Oh”
“Dan dia bilang mau nikah muda, mungkin maksimal satu tahun setelah wisuda”
“Hm”
“Dan dia bilang, sampai saat ini masih cuma kamu kandidatnya”
“Hah?”
“Awwww!”