Sejatinya, perempuan jatuh cinta melalui rasa penasarannya. Cinta itu berkembang lewat keingintahuan yang bersarang di bawah alam sadarnya. Karena secara alami, semua hal tentang laki-laki itu—kemudian—akan menarik perhatian perempuan. Membuatnya menjadi pusat observasi yang entah kenapa selalu menarik untuk dibahas dengan hati. Dan aku, sedang sampai pada tahap ini.
Belakangan, hanya mendengar orang-orang memuji Kak Hamzah saja—sudah bisa membuatku tersenyum senang. Melihatnya dari kejauhan—sudah membuat jantungku berdetak tidak beraturan. Bahkan untuk hanya bisa diam-diam memperhatikan rutinitasnya saja—sudah terasa membahagiakan. Seolah jarak dan bisu bukan lagi penghalang bagi jalinan komunikasi. Karena sejak diam-diam mengamati; aku justru semakin banyak mengenal sisi lainnya dengan beragam persepsi.
Sayang, berseminya perasaan baru ini—tidak lagi membuatku leluasa untuk berekspresi. Aku jadi spontan lari setiap kali hendak dihampiri. Aku sembunyi setiap kali dicari. Dan aku jadi malu sendiri berkat kelinglungan ini. Aku bahkan tidak tahu harus seperti apa menjelaskan alasannya nanti. Karena cepat atau lambat, Kak Hamzah pasti akan menuntut penjelasan terhadapku. Sama halnya seperti kejadian di malam itu.
***
“Assalamu’alaikum” Suara Kak Hamzah memasuki ruang kelas kami.
“Wa’alaikumussalam”
“Maaf mengganggu waktunya bu, saya Hamzah, ketua HIMA Islam. Boleh saya izin bicara dengan Hamnah sebentar bu? Ada hal urgent yang harus saya bahas dengannya”
“Oh, iya silahkan mas. Hamnah, kamu boleh keluar dulu”
“Kak Hamzah, saya gak dipanggil juga kak”
“Iya, kita kok gak dipanggil juga kak?”
“Barangkali kita bisa bantu juga lho kak”
“Terima kasih bu” Ucap Kak Hamzah tanpa menghiraukan perempuan-perempuan itu.
Gawat. Lagi-lagi degup jantungku tidak mau berdenyut santai. Bahkan setelah aku mencoba menahan napas pun—bunyinya tidak juga mau mengecil. Aku terpaksa harus mundur beberapa langkah—menjauh dari tempat Kak Hamzah berdiri—demi menghindari kecurigaan. Dan untuk beberapa waktu; aku hanya mampu menatap sepasang sepatu yang sedang mematung di hadapanku.
“M..mau bahas soal event ‘Pernah-Pernik Ramadhan’ ya kak?”
“Bukan” Kali ini Kak Hamzah bicara dengan nada tegas.
“O..oh, terus apa kak?”
“Ikrima habis bilang apa lagi?”
“G..gak bilang apa-apa kok kak”
“Dia nyuruh kamu jauhin aku lagi ma?”
“Ehhh, enggak kok kak!” Akhirnya aku menatap mimik wajah Kak Hamzah.
Aku tidak tahu akan ke arah mana dialog kami siang ini. Aku bahkan tidak menyangka bahwa Kak Hamzah akan memakai cara senekat itu hanya untuk membahas perkara ini denganku. Kukira kedatangan Kak Hamzah di tengah-tengah kegiatan perkuliahanku tadi sungguh untuk membahas seputar HIMA Islam. Dan bodohnya; aku malah semakin kagum dengan kakak tingkat ini. Kutundukkan pandanganku semakin dalam. Menyembunyikan rona merah yang mungkin perlahan merekah di kedua pipiku.
“Jangan-jangan Ikrima bilang kalau aku suka sama kamu ya ma?”
“Haaah? Enggak kok kak.. eh.. iya sih.. bukan.. mm.. maksudku iya, tapi aku gak percaya kok kak. Aku tahulah pasti itu cuma omong kosong Ikrima aja hahaha”
“Kamu itu pinter baca sejarah, tapi ternyata bodoh baca perilaku orang ya ma”
“Maksudnya?”
“Itu bukan omong kosong”
“.......”
“Tapi bukan juga sesuatu yang perlu kamu pertimbangkan untuk jangka waktu dekat ini ma, karena biar bagaimana pun; perjalanan untuk sampai ke sana itu masih jauh”
Kak Hamzah benar. Mau dipastikan sedemikian pasti pun; tetap saja tidak ada yang pasti dari sebuah ikhtiar—selain keikhlasan itu sendiri. Ikhlas menerima perasaan itu sebagai bagian dari fitrah manusia. Ikhlas memperjuangkan perasaan itu sebagai bentuk ikhtiar manusia. Dan ikhlas menjalani ketetapan Allah—entah itu nantinya sejalan—ataupun bertentangan dengan ikhtiar.
Sekarang bukan waktunya untuk memupuk harapan. Kak Hamzah bilang; ada adab yang harus dipenuhi sebelum seseorang memutuskan untuk berharap. Utamanya adalah usaha dan kepantasan. Karena harapan yang dibiarkan tumbuh liar—tanpa adanya kedua hal tersebut; pada akhirnya hanya akan mematikan produktivitas diri, serta melumpuhkan iman di dalam hati. Membuat manusia dimanjakan oleh imajinasi yang kian hari—hanya kian merusak potensi.
Jadi, setelah semua penjelasan dan arahan yang disampaikan Kak Hamzah; aku sepakat untuk mulai menata hatiku kembali. Walau terlihat naif; aku berusaha mengembalikan cara pandangku terhadap Kak Hamzah—sedemikian wajar. Kukesampingkan rasa ego untuk memiliki. Kusingkirkan rasa suka yang mulai bersarang di hati. Ada baiknya untuk saat ini; aku fokus saja memampukan diri. Dan memperkaya ilmu tentang agama ini—lewat Kak Hamzah dan cara yang sudah-sudah.
***
“Ikrimaaaaaa”
“Kamu lagi...”
“Ngapain duduk di sini?”
“Nunggu Kak Hamzah”
“Ohh, mau bahas soal koperasi lagi?”
“Nanti juga tahu”