Aku tidak tahu seperti apa itu wujud ‘Arsy’ yang kerap kali dibicarakan. Tapi aku percaya bahwa semua kisah tentangku sudah terarsip rapih di dalam dokumen kerahasiaan-Nya. Dan tidak ada seorang pun akan tahu untuk apa aku menjalani hari kemarin—termaksud diriku sendiri—kecuali jika hari ini semua urusan-Nya telah selesai. Urusan tentang apa? Entahlah. Kak Laila bilang; Allah punya banyak urusan yang tidak perlu kita urusi, karena yang perlu kita lakukan hanyalah meyakini bahwa urusan itu adalah sesuatu yang baik untuk diri.
Pagi ini kampusku sepi. Bapak-bapak pedagang kaki lima sedang merebahkan kakinya di atas kasur. Para dosen sudah berangkat menuju alam mimpinya masing-masing. Ayam jago juga enggan berkokok. Rupanya dia tahu bahwa mengganggu kepulesan mahasiswa—di tengah libur cuti bersama—itu pamali. Dan aku adalah termaksud dari segelintir orang sibuk yang terpaksa harus tetap LDR’an dengan kamar tidur. Itu karena semalam, Kak Hamzah mendadak—meminta kami untuk memajukan jadwal meeting. Katanya ada hal urgent yang harus dibahas.
Seperti biasa, karena kosanku adalah yang paling dekat dengan kampus; aku tiba lebih awal di antara yang lain. Kak Laila dan Kak Muazah masih belum bisa bergabung dengan agenda kami pagi ini. Tapi syukurlah yang lain sudah terkonfirmasi akan datang. Karena selain membahas soal meeting internal; siang ini kami juga akan pergi ke daerah Bantul untuk survei pondok pesantren yang rencananya akan menjadi penerima sumbangan pembangunan dari HTM event ‘Pernak-Pernik Ramadhan’ nanti.
Seminggu sebelumnya, kami juga sudah menempelkan poster di beberapa mading—tentang rencana kunjungan survei hari ini. Dan salah satu agenda yang tertera di dalam poster tersebut adalah; penggalangan pakaian layak guna untuk adik-adik di pondok pesantren tersebut. Alhamdulillah antusiasme dari teman-teman mahasiswa ternyata sangat besar.
Bidang Sosial dari BEM sampai meminjamkan basecampnya untuk kami. Mereka bilang; kami boleh menggunakannya untuk tempat penyimpanan baju-baju sumbangan. Mereka bahkan membantu kami menyortir pakaian mana yang dapat digunakan di pondok pesantren—dan mana yang bisa disimpan saja untuk persiapan bantuan bagi korban bencana jika suatu saat terjadi musibah.
“Hamnah?” Tiba-tiba suara Zaid terdengar menyapaku yang baru saja keluar dari ruang wudhu.
“.....” Aku lantas kembali masuk dan bersembunyi.
“Hahahaha ngapain ngumpet nah?”
“Kok ketawa id?” Teriakku dari dalam.
“Maaf maaf, pangling aku hehe”
“Aneh ya?”
“Gak aneh kooook! Malah makin cantik. Harusnya kamu dari dulu pakai gamis dan kerudung panjang gitu nah. Cocok tahu!
“Serius?” Aku mencoba menampakkan diri.
“Wedeeeeeeh, aya saha didieeee?!” Ledek Anas yang ternyata juga datang bersama Zaid.
“Ahahaha, hidayah wakil ketua ‘Pernak-Pernik Ramadhan’ ya nah? Cieeee, kaos kakinya juga udah nempel terus tuh id!” Kali ini Faris yang bersuara. Aku lupa bahwa kosan mereka memang bersebelahan.
Setelah itu satu-persatu datang bergantian. Dari bibir serambi; Kak Syifa dan Kak Shafiyyah menatapku dengan nanar bingung. Mungkin mereka juga tidak mengenaliku. Tapi kemudian Kak Rumaisha meneriaki mereka dengan seruan “cipaaaaa, piyaaaah, lihat nih adik kecil kita anggun bangeeeet!”. Seruan yang seketika membuat mereka terburu-buru mendekat. Aku bahkan sampai bisa mendengar sibakan suara gamis Kak Shafiyyah yang berpadu padan dengan suara rok Kak Syifa. Dan berkat perlakuan spesial mereka semua; hatiku jadi semakin hilang kendali. Dia jadi berdebar tidak jelas setiap kali menerka-nerka response apa yang akan dilontarkan Kak Hamzah kepadaku.
“Assalamu’alaikum”
Seketika aku tertunduk dalam. Suaraku mendadak hilang untuk menjawab salam. Aku bahkan tidak punya cukup keberanian untuk menatap ke arah sumber suara. Dan rupanya aku harus kecewa—karena itu adalah suara Fatih. Dia datang hampir berbarengan dengan Saiba dan Hafsah. “Mashaallah”.. ucap Fatih sambil melemparkan senyumannya. Aku menangkap senyuman itu dengan perasaan yang tetap stabil. Kemudian, tidak lama setelah itu Saiba memujiku dengan tonjokan di bahu—khas tomboinya. Dia memang punya body language yang unik untuk merepresentasikan sebuah perasaan.
Sementara Hafsah; dia hanya mengedipkan sebelah matanya sebagai simbol keberhasilan untukku. Wajar jika dia tidak kaget; karena semalam aku baru saja mengganggunya dengan video call. Aku meminta pendapatnya tentang kombinasi gamis dan kerudung yang akan kukenakan hari ini. Aku juga repot sekali meminta sarannya untuk memodifikasi gaya hijabku. Kami bahkan mengudara hampir dua jam. Sampai akhirnya; Hafsah membiarkan mukanya terpampang lebar di layar ponsel—tanpa meninggalkan sedikit pun nyawa. Hafsah yang malang.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” Semua menoleh menyambut kedatangan Kak Hamzah, kecuali aku.
“Ikrima?” Ucap beberapa orang di antara kami—hampir berbarengan.
“Ikrima?” Ucapku yang jadi ikutan menatapnya.
“Hehehe, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Indah sekali. Melihat Ikrima yang biasanya saja sudah terlihat anggun dengan baju lengan panjang dan rok; sekarang jadi semakin indah saja dengan balutan kerudung panjang yang melingkari wajah mungilnya. Melihat dia berdiri di samping Kak Hamzah seperti itu—jadi membuatku semakin malu dengan perasaanku sendiri. Padahal tidak ada yang tahu tentang ini—selain aku. Tapi tetap saja. Saking malunya, aku sampai ingin pergi ke kamar mandi dan bersembunyi di sana. Apalagi Kak Hamzah sama sekali tidak menggubris perubahanku. Padahal kami sempat berkontak mata untuk beberapa detik. Tapi setelah itu; pandangannya justru kembali tercurah kepada Ikrima.
“Kalian datang bareng po?” Tanya Kak Rumaisha santun.