Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #15

Khawarij

Hi, apakah ini sudah satu purnama sejak kali terakhir Kak Hamzah bersikap manis padaku? Entahlah. Yang kutahu, waktu jadi terasa lamban berputar. Setelah kegiatan bakti sosial untuk survei lokasi itu—hubunganku dengan Kak Hamzah merenggang. Padahal semakin hari, semakin banyak hal yang perlu kudiskusikan dengannya. Baik itu sebagai sekretaris HIMA Islam. Ataupun sebagai wakil ketua pelaksana “Pernak-Pernik Ramadhan”. Tapi setiap kali aku berusaha untuk menjangkaunya; pasti Ikrima sudah lebih dulu melesat di hadapannya. Dia menyita semua waktu dan perhatian Kak Hamzah dengan ikatan jabatan di antara mereka.

Pernah suatu hari aku dan Faris pergi menghadap staf penanggung jawab bangunan untuk mengurusi izin terkait penggunaan auditorium—untuk keperluan “Pernak-Pernik Ramadhan”. Tapi sayangnya saat itu proposal kami ditolak mentah-mentah. Alasan utamanya adalah karena biaya listrik yang ditanggung kampus—untuk penggunaan auditorium—akan over budget jika dalam satu bulan digunakan untuk banyak event sekaligus. Apalagi setelah staf tersebut menyimak rancangan acara dan floor plan lighting yang akan kami terapkan. Secara kasat mata pun sudah dapat dihitung daya listrik yang akan terpakai.

Tapi meskipun kami setuju untuk menyederhanakan penggunaan lampu dan menegosiasikan keluhan-keluhan lainnya terkait konsep acara; tetap saja proposal itu tidak disetujui. Sebab, selain kami sudah ada dua HIMA lainnya yang juga mengajukan izin penggunaan auditorium. Dan beruntungnya kedua HIMA tersebut telah disetujui.

Aku pribadi tidak ingin berburuk sangka. Tapi apa yang dikeluhkan Faris kepadaku—adalah persis seperti apa yang aku pikirkan. “Mungkin karena mereka semua ngundang artis ya nah, makanya pada di-acc. Segmentasi audiencenya juga untuk umum. Jadi mana mungkin gak di-acc, kan hitung-hitung sekalian buat marketingin kampus.” Hanya kalimat itu yang terus terulang di antara dialogku dengan Faris kala itu. Sampai akhirnya kita bertemu Kak Hamzah, dan berharap akan ada jalan tengah setelahnya.

“Hahaha terus kalian mau ngundang ust artis gitu?” Ledek Kak Hamzah di parkiran motor. Tentu saja ada Ikrima di sebelahnya.

“Iya kak, gimana menurut lu?” Faris masih berusaha memulihkan semangatnya.

“Emang anggaran yang di proposal udah di-acc ris?”

“Belum sih kak, tapi kata PUKET I in shaa allah di-acc, cuma gak full”

“Ada delapan puluh persennya?”

“Cuma lima puluh persen kak” Aku mulai bersuara.

“Gini deh, kalau anggaran untuk rancangan acara yang sesederhana itu aja kalian masih harus cari lima puluh persen kekurangannya, kenapa harus maksain diri dengan ngundang ust artis dan memperluas segmentasi? Apalagi selama ini untuk jangkau minat anak-anak kampus kita sendiri aja—kita belum mampu. Apalagi narik minat umum?”

“Tapi kak, dulu setiap kali ISDAY; kakak sendiri yang sering ngingetin kita soal surat Muhammad ayat tujuh. Bahwa jika kita menolong agama Allah, Allah pasti akan menolong kitakan? Jadi daripada mendikte kekurangan, kenapa kita gak coba membidik peluang aja?”

“Maaf aku nyela nah, aku tahu kamu punya ambisi yang bagus untuk meluaskan dakwah islam dan mengemasnya semenarik mungkin supaya teman-teman kita mau datang. Tapi kamu juga tidak boleh mengesampingkan realita. Memaksa diri di luar kapasitas itu dzolim namanya nah. Kalau memang niat kita masih lurus semata-mata untuk menolong agama Allah, ya sesuaikan saja dulu dengan porsi kemampuan kita. Yang penting dan paling utama adalah point-point kebaikan yang bisa didapat audience dari acara kita.” Ikrima mulai bersuara dengan argumen yang mematahkan semangatku dan Faris.

Arghhh.. Rasanya kesal sekali setiap mengingat percakapan kami siang itu. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Untung saja ada Zaid dengan sejuta kekonyolannya. Karena tidak lama setelah itu; Zaid, Anas, dan Fatih membantu kami merangkai ulang cita-cita yang tadi sempat lebur. Kami berdiskusi di serambi masjid kampus hingga larut malam. Empat waktu sholat wajib—kami tunaikan bersama. Ada Kak Shafiyyah, Kak Syifa, Kak Rumaisha dan Saiba juga. Hafsah berhalangan lembur karena ada tugas kuliah. Tapi sore harinya dia tidak absen di majelis musyawarah kami.

Menurutku, hari itu dan hari-hari setelah itu adalah hari tersingkat yang pernah kualami. Setelah sibuk dengan perkuliahan masing-masing; senada dengan kumandang  Ashar kami pasti kembali berkumpul untuk menyusun ulang proposal. Merancang anggaran. Merumuskan rundown. Sampai dengan menghubungi beberapa calon narasumber baru, dan membuat desain poster untuk keperluan marketing.

Aku dan Faris telah sepakat untuk merubah segmentasi audience serta narasumber. Dan syukurlah sebagian besar dari pengurus harian HIMA Islam setuju. Mereka memberikan sugesti positif kepada kami berdua. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bersedia membantu kami—bersusah-payah—merancang ulang semuanya. Sampai harus berangkat pagi, pulang larut malam. Sholat Zuhur bareng. Kemudian makan siang bareng. Lalu sholat Ashar bareng. Jajan snack lima ribuan sebungkus untuk bareng-bareng. Kemudian sholat Maghrib dan Isya bareng. Sampai makan malam di pecel lele pinggir jalan pun bareng. Dan bahkan, kami juga sepakat untuk tetap ke kampus meskipun sedang tidak ada jam kelas. Demi menyicil apa yang bisa dicicil.

***

Selamat tinggal satu bulan yang penuh peluh. Sekarang waktunya memetik buah hasil panen. Berkat Allah yang maha membolak-balik hati manusia; proposal “Pernak-Pernik Ramadhan” akhirnya disetujui. Mereka bahkan tidak terlalu mempermasalahkan perubahan jumlah anggaran yang kami ajukan. Izin auditorium pun sudah dikantongi. Begitu juga MoU dengan narasumber. Alhamdulillah semua berjalan sepadan dengan ikhtiar. Mimpi yang sebelumnya terasa tabu itu sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Semua berkumpul di serambi masjid dengan perasaan suka cita.

Tapi, karena selalu sibuk dengan project barunya bersama Ikrima, tentu saja Kak Hamzah tidak pernah tahu soal perubahan konsep acara ini. Dan sekarang, akhirnya dia sendiri yang datang kepada kami dengan membawa selembaran poster “Pernak-Pernik Ramadhan”—yang sepertinya dia dapat dari mading. Aku melihatnya dari serambi masjid. Di sini selain aku, ada trio sholehah dan trio kocak. Saiba dan Hafsah baru saja kembali ke kelas. Sementara Fatih sejak pagi tidak terlihat. Sepertinya dia memilih hibernasi untuk menebus waktu tidurnya yang tersita beberapa minggu ini.

“Assalamu’alaikum” Kak Hamzah berjalan tanpa Ikrima.

“Wa’alaikumussalam”

“Acaranya berubah?”

“Iya kak alhamdulillah, tiga hari yang lalu gue sama Hamnah ajuin proposal lagi ke atas, dan alhamdulillah di-acc. Narasumber juga udah fixed kak”

“Masalah anggaran?”

“In shaa allah aman kak, berkat idenya Zaid kita jadi kepikiran mau nyewain stand bazar. Jadi nanti konsepnya mirip kayak islamic fair gitu kak”

“Oh gitu, tapi udah ketutup biayanya?”

“Kurang dikit kak, tapi kita masih punya uang kas sisa event sebelumnya, kalau ditambah sama iuran panitia in shaa allah nutup”

Lihat selengkapnya