Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #16

Paradigma Sesat

Pertemuan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sudah tepat satu minggu berlalu sejak kali pertama aku melihat Anas mulai bersahabat dengan buku-buku tebal. Setiap kali menyapanya yang sedang sibuk membaca; Anas selalu bilang bahwa apa yang tengah dipelajarinya itu adalah sebuah kisah yang luar biasa. Tapi begitu aku memintanya untuk bercerita; Anas menolak. “Tunggu tanggal mainnya nah”. Ledeknya setengah pamer.

Rasanya seru sekali mengamati persiapan Anas untuk materi ISDAY hari ini. Aku dan Faris juga pernah melihatnya--selepas meeting dengan staf kampus untuk PPR; di kursi taman, dia melahap buku tebal itu dengan mata yang berbinar. Tangan kanannya juga tidak kalah aktif untuk mencatat apa yang perlu dia garis bawahi. Bahkan, tidak jarang aku juga melihatnya rebahan di serambi kampus—dengan beberapa gelaran snack yang mungkin dapat menunjang selera bacanya.

 

“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh...” Kak Rumaisha membuka forum ISDAY sore ini.

“Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh...” Jawab kami berbarengan.

“Alhamdulillah ya, seneng banget di pembahasan kita yang spesial kali ini; ada kakak-kakak spesial juga yang sudah menyempatkan waktunya untuk datang. Ahlan wa sahlan Kak Laila dan Kak Muazah...” Sambut Kak Rumaisha. Aku mengimbanginya dengan menggenggam tangan mereka berdua—penuh rindu.

“Nah, karena ini adalah materi pertama kita di luar pembahasan fiqih, jadi pematerinya ada dua ya teman-teman. Tujuannya supaya bisa saling menyempurnakan. Karena jika sudah berkaitan dengan sejarah, pasti ada beberapa perbedaan versi yang nantinya harus kembali didiskusikan dan ditarik kesimpulan. Alhamdulillah ada Kak Laila dan Kak Muazah juga yang in shaa allah bisa bantu menyempurnakan”

 

Pembukaan ISDAY memang selalu seformal ini. Selain sebagai strategi untuk memfokuskan perhatian, Kak Laila bilang teknik ini juga baik untuk membangun kepercayaan diri si pemateri—sekaligus memupuk rasa saling menghargai. Karena terkadang, meletakkan ‘keakraban’ di atas diskusi keagamaan bisa membuat kita saling menyepelekan. Mungkin lebih kepada karena kita saling tahu bahwa kita masih sama-sama belajar. Sehingga biasanya; akan ada rasa di bawah alam sadar kita yang kemudian meragukan validasi atas argumen satu sama lain. Nah, sifat formal inilah yang dapat membantu kita untuk menghindari perasaan semacam itu. Lagipula kami mengaji di bawah bimbingan kakak-kakak yang lain. Jadi in shaa allah jika memang ada kekeliruan di dalam materinya; mereka pasti akan memberi penjelasan pada akhir pembahasan.

Kak Laila juga pernah nyetatus di facebooknya; bahwa salah satu adab dalam menuntut ilmu adalah mengosongkan gelas. Maksudnya, ketika sudah duduk di majelis ilmu; kita harus memposisikan diri sebagai orang yang baru pertama kali mempelajari hal tersebut. Kak Laila bilang; itu jauh lebih bijak daripada kita datang dengan keyakinan penuh bahwa sedikit banyak kita juga sudah menguasai ilmu tersebut. Sebab nanti; bukannya mempelajari hal baru—kita justru malah akan sibuk mencatat dan mencemooh perbedaan materi antara apa yang disampaikan si pemateri dengan apa yang sebelumnya telah kita ketahui. Lalu keberkahan ilmu pun menjadi hilang seiring dengan prasangka buruk, kesombongan, dan leburnya respect kita terhadap pemateri.

 

“Puncak dari ketinggian adab adalah ketika engkau diam dan mendengarkan seseorang yang sedang bicara kepadamu tentang sesuatu yang engkau ketahui dengan baik, sementara ia tidak menguasainya.” (Ibnu Khaldun)

***

“Bismillahirrohmannirrohim... saya mulai ya teman-teman” Ucap Anas antusias.

“.......” Semua hening, hanya kepala yang terlihat mengangguk, mempersilahkan.

“Karena sebenarnya materi kali ini buanyak banget, saya teh agak seikit bingung untuk memulainya. Jadi mohon maaf ya kalau nanti agak gak fokus pembahasannya, melebar ke sana sini.”

“......” Lagi-lagi semua hening. Aku dan beberapa teman lainnya sempat menahan tawa melihat mimik Anas. Tapi kami segera kembali fokus—mengingat berkahnya ilmu.

“Jamal itu teh artinya unta”

“Hahahaha” Kali ini kami kelepasan tertawa. Faris dan Zaid yang paling keras. Kami bukan tertawa karena menyepelekan ilmu yang dimiliki Anas. Tapi karena Anas memang selalu seperti itu; gugup, spontan dan tidak beraturan ketika ingin menjelaskan sesuatu. Ditambah lagi gestur tubuh dan mimik wajahnya yang konyol. Rasanya jadi sulit sekali untuk menjaga suasana agar tetap kondusif.

“Heeee teman-teman, yuk fokus lagi yuk” Kak Laila mulai menampakkan taringnya.

“Ayo mulai lagi Dek Anas” Pinta Kak Muazah dengan senyum tipis sisa menahan tawa.

“Nah, iya teman-teman. Jadi kenapa perang itu disebut dengan perang jamal; itu adalah karena perang terjadi ketika Aisyah sedang mengendarai unta. Ini adalah perang yang terjadi antara pasukan Ali dan pasukannya Aisyah”

“Lho, kok bisa? Alikan menantunya Rasulullah, sementara Aisyah istrinya Rasulullah! Kenapa mereka perang nas?” Tanyaku spontan.

“Itu dia masalahnya nah. Dulu sebelum Rasulullah wafat, beliau pernah bernubuah bahwa Umar bin Khattab adalah benteng dari fitnah. Maka jika Umar wafat, fitnah pun akan merajalela. Nahkan qodarullah setelah Umar wafat, yang diba’iat jadi khalifah adalah Ustman bin Affan. Pembunuhan atas Ustman inilah yang kemudian memicu terjadinya perang jamal.”

“Ohh Ustman meninggal karena dibunuh ya nas?” Gumam Faris penasaran.

Lihat selengkapnya